Zulkarnaen, iskandar (2008) Perdamaian Aceh : Analisa Kegagalan CoHA dan Keberhasilan MoU Helsinki. Malikussaleh University Press, Lhokseumawe, Aceh. ISBN 978-979-1372-07-7
|
Text
Perdamaian Aceh_Analisis Kegagalan CoHA dan Keberhasilan Kesepakatan Helsinki.pdf Download (1MB) | Preview |
Abstract
Tulisan ini akan mencoba menganalisis beberapa persoalan yang berkaitan dengan proses penyelesaian konflik di Aceh melalui jalan damai yang pernah dilakukan atau diprakarsai oleh pihak ketiga sebagai mediator, yaitu Henry Dunant Centre (HDC) yang berakhir dengan kegagalan sampai pada proses keberhasi-lan disepakatinya nota kesepahaman damai yang diprakarsai Crisis Management Initiative (CMI) di Helsinki. Persoalan uta-ma yang hendak dikaji adalah: faktor-faktor apa yang mengakibatkan proses damai yang diprakarsai HDC gagal, se-mentara CMI berhasil. Selain dua permasalahan tersebut, tuli-san ini juga mencoba mengkaji peran Misi Pemantau Aceh atau Aceh Monitoring Mission (AMM), serta transformasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan kajian terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) sebagai konsekuensi dari kesepa-katan damai yang telah dibuat, serta mengkaji beberapa poten-si konflik di Aceh pasca kepergian AMM. Baik HDC maupun CMI merupakan non goverenment or-ganization (NGO) yang concern pada penyelesaian konflik secara damai. Kehadiran mereka sebagai pihak ketiga dalam penyelesaian konflik di Aceh merupakan sesuatu hal yang menarik untuk dikaji. Ini dikarenakan beberapa hal. Pertama, Pemerintah Indonesia menganggap apa yang terjadi di Aceh merupakan urusan internal yang bisa diselesaikan sendiri. Ka-rena itu, sekaligus sebagai alasan kedua, kehadiran pihak keti-ga dianggap intervensi atas kedaulatan Negara Kesatuan Repub-lik Indonesia. Setelah puluhan tahun terjebak dalam konflik bersenjata, sejak tahun 1999 konflik di Aceh kemudian mulai memasuki babak baru yaitu penyelesaian melalui proses damai. Wacana keterlibatan pihak ketiga sebagai pelanggaran terhadap kedau-latan negara dan penolakan terhadap kehadirannya mulai pudar. Adalah Presiden Abdurrahman Wahid sebagai orang yang pertama kali memprakarsai proses penyelesaian damai tersebut dengan melibatkan (HDC) sebagai pihak ketiga yang bertugas memediasi antara pihak yang terlibat konflik yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Repu-blik Indo-nesia (RI) yang menghasilkan Kesepakatan Penghentian Permu-suhan atau Cessation of Hostility Agreement (CoHA) tanggal 9 Desember 2002. Sayangnya, jalan damai yang dibangun HDC tersebut praktis gagal dengan dideklarasikannya status darurat militer di Aceh oleh Presiden Megawati pada tanggal 19 Mei 2003”. Dengan kegagalan tersebut, harapan terjadinya penyelesaian konflik melalui jalan damai di Aceh menjadi pesimis. Kegagalan itu telah semakin mengembangkan asumsi negatif atau saling ketidak percayaan masing-masing pihak yang terlibat konflik terhadap lawannya. Namun konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun tersebut mulai me-masuki titik jenuh atau hurting stalemate, ketika Aceh dilanda bencana alam yang sangat besar yaitu gempa dan gelombang tsunami yang merenggut ratusan ribu korban jiwa. Kondisi buntu dapat menjadi sebuah entry point bagi terciptanya kon-disi ripe for resolution dimana masing-masing kelompok yang terlibat konflik siap untuk melakukan pembicaraan damai dan melihat bahwa melanjutkan konflik adalah tin-dakan yang tid-ak efektif. Proses penyelesaian konflik Aceh melalui jalur damai kemudian dibuka kembali pada saat kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono – Jusuf Kalla, dengan melibatkan CMI dan menghasilkan nota kesepahaman perdamaian antara RI dan GAM atau disebut Helsinki’s Memorandum of Understand-ing pada tanggal 15 Agustus 2005 yang berhasil dilsaksanakan hingga saat ini. Sistematika Tulisan ini berisikan beberapa hal yaitu, pertama, kajian teoritik pentingnya keterlibatan pihak ketiga dalam proses penyelesaian konflik internal. Kedua, kajian ter-hadap keterlibatan HDC dalam proses penyelesaian konflik secara damai di Aceh. Bagian ini akan membahas peran dan keterlibatan HDC mulai dari awal, proses dialog sampai dengan analisis terhadap kegagalannya. Ketiga, kajian terhadap keterlibatan CMI dalam konflik di Aceh. Bagian ini juga akan membahas awal keterlibatan CMI, proses serta analisis men-gapa ia relatif lebih berhasil melahirkan kesepakatan damai dibanding HDC. Bagian empat, menelaah sejauh mana efektifi-tas peran AMM dalam menjalankan tugas sebagai lembaga moni-tor perdamaian di Aceh. Terakhir, mengkaji tentang potensi konflik di Aceh pasca kepergian AMM. Metode penulisan ini bersifat kualitatif dengan menggunakan sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer dihasilkan melalui direct observasi di Aceh seperti pengamatan langsung atau wawancara dengan beberapa tokoh yang terlibat langsung dengan proses konflik dan perjanjian damai di Aceh.
Item Type: | Book |
---|---|
Subjects: | J Political Science > JA Political science (General) |
Divisions: | Faculty of Social and Political Sciences |
Depositing User: | Mr. Iskandar Zulkarnaen Ph.D |
Date Deposited: | 02 Feb 2022 01:35 |
Last Modified: | 02 Feb 2022 01:35 |
URI: | http://repository.unimal.ac.id/id/eprint/6906 |
Actions (login required)
View Item |