Ilustrasi - foto: okezone.com
Semua bentuk interaksi manusia melibatkan proses komunikasi. Proses komunikasi bisa berlansung dalam bentuk, jenis, sifat, level dan dengan tujuan masing-masing. Proses komunikasi ini mempengaruhi struktur komunikasi dalam kehidupan manusia. Semua proses komunikasi yang dijalankan pada prinsipnya agar tercipta saling pengertian, terjalin kebersamaan, mempengaruhi secara positif, menumbuhkan citra positif, melahirkan kepuasan, hubungan antar manusia yang memuaskan dan kebahagiaan bagi siapapun yang terlibat dalamnya. Tidak ada usaha yang lebih penting untuk meraih hal tersebut kecuali dengan mempelajari ilmu komunikasi secara baik dan benar.
Organisasi partai politik dengan berbagai elemennya memiliki fungsi untuk melakukan proses agregasi dan artikulasi kepentingan. Dalam proses pemilu 2014 terlihat dengan jelas, konflik dan benturan kepentingan menjadi dinamika biasa seperti proses koalisi, penentuan kandidat capres-cawapres dll dengan pola-pola prakmatisme jauh dari landasan ideologi kebangsaan kenegaraan. Apalagi pluralisme kepartaian di negara ini begitu besar, dengan interest gap, heterogennya kepentingan elit politik, kecenderungan pada liberalisasi politik dengan praktek politik uang dan politik kekerasan. Proses perubahan sistem politik dari sistem politik yang otoriter selalu lebih dari 32 tahun menuju sistem politik yang lebih demokratik memerlukan waktu, bentuk dan aturan yang jelas.
Dengan banyaknya jumlah partai politik menunjukkan bahwa sistem politik akan berjalan labil, ditambah lagi dengan sikap pragmatisme elit-elit politik baik di level pusat ataupun lokal yang berlebihan juga merupakan bagian yang agak mengganggu proses opini dan citra positif rakyat termasuk kualitas demokrasi politik. Elit-elit politik yang lebih memetingkan kepentingan partai politik daripada rakyatnya menjadikan politik di negara ini lebih mengarah pada kekuasaan politik uang.
Semua persoalan diatas akan dapat diakomudasi atau diselesaikan dengan kemampuan komunikasi. Kemampuan komunikasi dalam membangun opini dan citra positif rakyat menjadi sangat penting, kalau tidak kemungkinan konflik dan kompetisi politik yang terjadi akan menciptakan opini dan citra negatif baginya, akibatnya tidak jarang membuat parpol dengan semua perangkatnya melemah yang akhirnya bubar.
Memang dalam proses pemilu (pileg dan pilpres 2014) kemarin, booming dan perang komunikasi berlansung tanpa dapat dihambat. Semua daya kemampuan komunikasi dipraktekkan oleh para komunikator politik (parpol, politisi, kandidat, tim sukses, aktifis, relawan, pemerintah dll) demi membentuk opini dan citra posisif rakyat.
Opini positif dari rakyat menjadi sasaran utama dalam proses politik. Opini rakyat sangat erat hubungan dengan proses citra, karena citra merupakan bagian atau salah satu bentuk opini. Opini rakyat tentang parpol, politisi, kandidat, capres-cawapres dll sangat ditentukan oleh bagaimana citranya mata rakyat. Sedangkan citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima oleh rakyat, tentu melalu kemampuan komunikasi secara langsung maupun komunikasi bermedia. Citra pada rakyat akan terwujud sebagai konsekuensi kognitif, behavioral, afektif dari proses komunikasi tersebut. Proses komunikasi tersebut mempengaruhi cara rakyat mengorganisasikan citranya tentang politik kemudian citra itulah yang mempengaruhi pendapat dan perilaku rakyat dalam proses politik.
Citra politik dapat dikatakan sebagai suatu gambaran dalam benak rakyat tentang politik (organisasi parpol, politisi, kandidat, kekuasaan, kewenangan, autoritas, konflik, pemerintah, konsensus dll) yang memiliki makna, walau terkadang tidak selamanya sesuai dengan realitas yang diharapkan oleh rakyat. Kalau dirunut, bahwa citra politik itu tersusun melalui persepsi rakyat yang bermakna tentang gejala politik yang kemudian menyatakan makna tersebut melalui kepercayaan, nilai, pilihan, dan pengharapan, terjadi dalam bentuk pendapat pribadi kemudian berkembang menjadi pendapat rakyat secara umum.
Citra politik merupakan seluruh pengetahuan kognitif politik rakyat, benar maupun salah, sehingga citra ini bersifat dinamis selalu berubah sesuai dengan berubahnya pengetahuan politik dan pengalaman politik rakyat. Membangun citra politik tidaklah mudah, banyak faktor yang dapat mempengaruhi citra yang dipersepsikan oleh rakyat. Factor-faktor yang kebanyakan diluar kontrol sipembuat citra, misalnya faktor pesaing politik, latar belakang individu atau rakyat seperti agama, ras, suku, pendidikan, jenis kelamin, lokasi, serta umur dll, yang telah ada sebelum para pembuat citra politik menempatkan citranya dalam memori rakyat.
Dalam pandangan, Gunter Schweiger dan Michaela Adami 1999, citra merupakan gambaran menyeluruh yang ada di kepala rakyat mengenai politisi maupun programnya. Bahwa proses pengambilan keputusan oleh rakyat tidak selamanya dipengaruhi oleh pengetahuan rakyat tentang program-program yang ditawarkan maupun oleh informasi-informasi yang membangun brand politik. Akan tetapi proses keputusan rakyat kuat dipengaruhi oleh keterkesanan dan kriteria yang tidak rasional yang dipakai rakyat dalam mengevaluasi para kandidat/parpol tersebut. Kecenderungan natural inilah yang menjelaskan mengapa citra, yang dimiliki parpol, politisi, kandidat semakin berpengaruh terhadap rakyat dalam menentukan pilihan politiknya.
Sebagai bagian dari komunikasi, citra politik mesti dilakukan secara persuasif untuk memperluas jangkauan wilayah harapan antara politisi, kandidat dengan rakyat. Citra positif sebagai unsur terpenting yang menjadi pertimbangan rakyat dalam menentukan pilihannya, maka wajar jika para politisi, kandidat memanfaatkan konsep citra untuk memediasi jarak antara perilaku rakyat yang dipahami oleh para politisi dengan apa yang sesungguhnya tersimpan di benak rakyat.
Memang citra yang positif, dengan sendirinya akan meningkatkan popularitas dan elektabilitas parpol, politisi, kandidat, begitupun sebaliknya. Semakin dapat menampilkan citra positif, maka peluang untuk meraup dukungan rakyat semakin besar.
Sesungguhnya citra yang ideal, adalah impresi atau kesan yang benar, yakni sepenuhnya berdasarkan atas kenyataan yang sesungguhnya. Mengutip pendapat Kasali 2000, bahwa pemberian informasi yang lengkap merupakan kata kunci bagi upaya pembentukan citra yang positif. Informasi lengkap yang dimaksud bukan berarti informasi yang “banyak dan terperunci”. Akan tetapi informasi yang mampu menjawab kebutuhan rakyat, dan informasi disampaikan dengan baik dan benar sehingga dapat dipahami, rasional dan dapat dipercaya.
Namun dalam konteks pembentukan citra, tidak sedikit yang kehilangan kekuatan penarik perhatian. Citra yang sebelumnya diharapkan mampu menciptakan kejutan, stimulasi, dan gebrakan informasi tidak terduga berubah menjadi pengulangan-pengulangan yang terduga, akhirnya menjadi citra-citra yang murahan dan dangkal. Misalnya saat citra-citra politik tampil dalam jumlah banyak, frekuensi tinggi, dan waktu yang cepat, sehingga menyebabkan pesan yang disampaikan tidak lagi menarik perhatian rakyat.
Citra politik pada dasarnya lebih dari sekedar strategi untuk menampilkan parpol, politisi, kandidat kepada rakyat. Tetapi juga berkaitan dengan kesan yang dimiliki oleh rakyat. Citra merupakan transaksi antara strategi parpol, politisi, kandidat dalam menciptakan kesan personal dengan kepercayaan yang sudah ada dalam benak rakyat. Rakyat sesungguhnya melihat parpol, politisi, kandidat bukan hanya berdasarkan realitas rill melainkan dari sebuah proses kimiawi antara rakyat dan citra kandidat sebagai gambaran imajiner.
Kemasan atau kemampuan mengelola citra menjadi penjelasan yang paling representatif dalam proses pemilu 2014. Terkadang hasil jajak pendapat menjadi ukuran yang lebih penting ketimbang kebenaran. Penampilan yang atraktif, lebih efektif ketimbang prestasi dan gagasan sosial yang menggugah. Pengolahan citra, persuasi dan retorika politik dilakukan dengan cukup baik oleh para aktor politik untuk memperoleh simpati rakyat.
Mengutip pendapat Dan nimmo, citra merupakan segala hal yang berkaitan dengan situasi keseharian seseorang; menyangkut pengetahuan, perasaan dan kecenderungannya terhadap sesuatu. Maka citra dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu. Citra akan terlihat atau terbentuk melalui proses penerimaan secara fisik/panca indra, masuk ke saringan perhatian, dan dari situ menghasilkan pesan yang dapat dilihat dan dimengerti, kemudian berubah menjadi persepsi dan akhirnya membentuk citra.