Jokowi saat menyapa rakyat - foto: jokowijkcenter.com
Walau proses hukum Pilpres 2014 kemarin di Mahkamah Konstitusi (MK) belum selesai sampai saat ini. Namun rakyat dominan yang sudah menunaikan kewajibannya memilih dalam pileg dan pilpres 2014 kemarin tetap menggantungkan dan menitip harapan kepada pemerintah baru hasil pileg dan pilpres 2014. Walau masih ada tahap proses hukum di MK, namun rakyat juga masih mempersilakan menguji keadilan dan kebenaran proses pilpres 2014 melalui lembaga hukum MK, tentu harapannya hukum dapat ditegakkan dengan seadil-adilnya. Dengan catatan, adil bagi seluruh rakyat nusantara, rakyat sudah mempraktekan dan menunaikan kedewasaan politiknya dalam proses pemilu kemarin dengan penuh kesabaran. Jangan sampai praktek kedewasaan dan kesabaran berpolitik rakyat tersebut dikotori oleh kepentingan-kepentingan atau motif-motif psikologis politik, ekonomi prakmatis sesaat oknum atau kelompok-kelompok yang nihil prinsip kebangsaan dan kenegaraan.
Tentu ada nada pesimis dan optimis, namun nada optimisme mendominasi ruang-ruang bawah sadar dan ruang sadar rakyat, dengan penuh harapan menitip negara bangsa untuk dinahkodai dengan cara-cara yang lebih baik dan benar menuju pulau bahagia yang didalamnya terdapat kesejahteraan, kemandirian, penuh dengan martabat, harga diri dan identitas diri yang sulit digoyahkan oleh pihak manapun.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dibutuhkan keseimbangan dan keharmonisan dalam segala segi. Keseimbangan dan keharmonisan dalam dunia politik, sosial, budaya, ekonomi dan hukum dll. Mesti diakui saat ini, negara bangsa berada dalam ketidakseimbangan, ketidakharmonisan yang tergambar dengan jelas diatas cakrawala nusantara yang dipenuhi asap kelabu ketidakpastian yang menutupi langit cerah alam sadar dan bawah sadar rakyat. Misalnya hasil pilpres 2014 sampai saat ini masih meninggalkan nuansa kubu-kubuan, rakyat banyak yang terpecah belah, konflik senantiasa menghampiri, disitegrasi mulai bergairah kembali, wacana referendum untuk Aceh mulai digulirkan walau terkesan bersifat sepihak tanpa keterlibatan seluruh rakyat Aceh dan bahkan dianggap wacana muncul lebih kepada ketidakpuasan terhadap hasil pilpres. kelabu juga masih menyelimuti daerah-daerah rawan konflik seperti Papua, Maluku, Aceh dll, sehingga wajar dikatakan peradaban negara bangsa nusantara masih terpampang dilangit-langit harapan nurani yang terasa kosong.
Sah-sah saja ketika rakyat kemudian menancapkan berbagai prediksi negara bangsa kedepan, kemudian harapan dan titipan ditaburkan pada pemerintah baru nanti, walau rasa kekhawatiran terus dikumandangkan dengan kegelisahan yang masih tersimpan di balik hati rakyat yang paling dalam.
Dalam menitip dan menggantungkan harapan kepada pemerintah baru, untuk tidak meninggalkan kekecewaan mendalam di kemudian hari. Tentu bangsa ini perlu introspeksi dan meredefinisi kembali akan eksistensi dirinya, dengan mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri dan bangsa; mengapa negara bangsa tidak habis-habisnya di dera masalah? Masalah, kesulitan dan kendala memang tidak akan pernah pupus, ia terus menerus menghampiri negara bangsa. Bahkan menimpa kemanusiaan.
Masalah, kesulitan dan kendala akan mulai terkikis bahkan berakhir ketika para manusia-manusia bijaksana, negarawan, penuh ideologis, penuh prinsip yang menjadi pemimpin/penguasa di bangsa negara atau sampai mereka yang sekarang kita sebut pemimpim/penguasa itu sungguh-sungguh menjadi manusia-manusia bijak, dewasa, kesatria, penuh prinsip dll. Sampai mereka bisa menjadi contoh bagi rakyat bukan malah menjadi sumber masalah seperti yang terjadi saat ini.
Kalau kita ambil Falsafah Carfesian yang menyakini eksistensi sebagai sebuah hasil pemikiran. Maka keberadaan bangsa negara juga karena adanya proses kesadaran tersebut. Nusantara ini dikenal karena mau berpikir dan sadar akan keberadaannya.Tetapi ketika bangsa nusantara ini sudah tidak mau berpikir lagi, ketika berhenti menyadari diri sebagai sebuah bangsa negara, apatis, skeptis, pesimistis dan lain-lain saat itu pula harapan dan kemerdekaan sebagai sebuah bangsa negara telah terhampaskan. Negara bangsa lama kehilangan identitas diri, lama mengalami de-eksistensi diri, itu mesti dikembalikan sesegera mungkin.
Pemerintah baru, diharapkan menjalin sinergi dengan semua elemen rakyat termasuk rakyat sipil yang dominan belum terangkut dalam pembangunan, sekalipun mereka minoritas dan tersingkir di tengah sistem politik gaya kapitalis, ditengah neo-liberalisme, ditengah realitas sosiologis, antropologis dan komunikasi yang cenderung mematikan idealisme, cenderung mematikan ide-ide peradaban manusia.
Walau tertatih, titipan dan harapan selalu menggema, karena hakikatnya proses politik nusantara saat ini dimaksudkan dan ditujukan untuk; kemajuan, kecerdasan, kesejahteraan, kemandirian, identitas kebangsaan, bermartabat, kehidupan yang demokratis, keadilan, kemakmuran, nasionalisme, peradaban yang penuh etika, norma dan karakter yang diperjuangkan.
Tentu dibutuhkan peran aktif dari semua elemen termasuk kalangan rakyat/civil society. Rakyat civil dalam bentuk apapun, yang penting dapat menjalankan fungsi gerakan perubahan baru bagi negara bangsa. Rakyat sipil yang dapat menjalankan gerakan sosial baru; baik dunia kampus, pekerja/buruh, petani, lembaga swadaya masyarakat, gerakan media massa, gerakan koperasi, rakyat terpinggirkan dan atau segaja dipinggirkan, rakyat yang tidak mendapat akses pelayanan negara; rakyat yang nihil akses pelayanan pendidikan, nihil akses pelayanan kesehatan, nihil akses pelayanan ekonomi. Rakyat yang menjadi komoditas kapitalis, rakyat yang hampir kehilangan identitas diri, rakyat yang hampir kehilangan kebudayaan dan peradaban.
Rakyat semacam inilah, yang dominan mendiami nusantara raya ini dan rakyat inilah yang sedang menitip harapan besar dipundak pemerintahan baru.