Home Humaniora
Jum'at,29 Agustus 2014 | 01:58

Membangun Pariwisata di atas Pondasi Multikulturalisme (Catatan dari Sulawesi Utara)

Pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Unimal Aceh Ketua Development for Research and Empowerment - DeRE-Indonesia (Menjalankan Program Mingguan - Sekolah menulis dan kajian media (SMKM-Atjeh) dan Atjeh Analyst Club (A2C) + GERAKAN SOSIAL BARU +
Membangun Pariwisata di atas Pondasi Multikulturalisme (Catatan dari Sulawesi Utara)

Ilustrasi pluralisme - foto: kaskus.co.id

Sepanjang perjalanan menyusuri desa-desa (Baik yang masuk katagori Desa Wisata maupun bukan-pen) di wilayah Sulawesi Utara, hal yang menarik bagi saya adalah dari sisi paling mendasar yaitu kemampuan manusianya sebagai individu dan sosial dalam mengimplementasikan konsep multikulturalisme dan pluralisme. Kemampuan tersebut dapat saya rasakan ketika terjadi proses komunikasi secara langsung maupun komunikasi tidak langsung dengan masyarakat setempat.

Tidak salah kalau kita sebutkan; manusia sebagai individu dan sosial menjadi basis utama dalam pengembangan dunia pariwisata di Nusantara dan tentu sektor-sektor lainnya. Pariwisata potensi utamanya terletak pada manusia baik sebagai individu maupun makhluk sosial. Sebagai individu dan sosial, manusia terus berupaya membangun dunianya, boleh disebut sebagai suatu enterprise of world building. Bahwa dunia yang dibangun baik lingkungan pariwisata, sosial, budaya, kesenian, kearifan lokal, ekonomi, politik, ekonomi, hukum dan lainnya merupakan hasil konstruksi pemikiran dan aktivitas manusia, melalui proses dialektika secara holistic yang sustainable.

Dalam proses konstruksi tersebut, manusia tentu menggunakan seluruh potensi yang ada. setiap manusia memiliki potensi nalar atau cognitive, potensi otak sebagai daya imajinatif, potensi otot sebagai aktifitas motorik atau gerak dan yang terpenting adalah potensi hati/mental/moral/karakter/kepribadian dalam wujud factual yang dapat menguatkan proses implementasi multikulturalisme dan fluralisme.

Membangun dunia pariwisata juga bidang lainnya, tidak cukup hanya berpatokan pada potensi cognitive, potensi otak daya imajinatif, potensi otot sebagai aktifitas motorik/gerak. Tapi yang utama aktualisasi potensi hati; yang mampu menempatkan manusia sebagai makhluk sosial, makhluk berbudaya, mahkluk humanis, mahkluk yang penuh dengan toleransi, komunikatif, kesetaraan, saling percaya, menghargaan perbedaan, mahkluk yang penuh dengan kasih sayang, peduli, terbuka, jujur, sederhana dan lainnya. Dengan kata lain menjadi manusia multikulturalisme dan pluralisme, dapat membawa pengaruh positif atau multi-efek dalam proses membangun dunia pariwisata dan sektor lainnya. Karena membangun pariwisata mesti sinergi dengan berbagai sektor-sektor lainnya.

Tanpa melibatkan potensi hati, dikhawatirkan akan melahirkan manusia-manusia nihil moral, nihil karakter, nihil kepribadian, identitas, nihil rasa kemanusiaan, nihil humanisme, nihil tolerasi, nihil trust, nihil rasa menghargai perbedaan, nihil gotongroyong, bahkan etnosentrisme, individualism, hedonism, dan sebagainya. Hal ini pasti menjadi hambatan utama dalam setiap proses membangun termasuk pembangunan pariwisata.

Menjadi Manusia Multikulturalism dan pluralism

Menjadi manusia baik individu dan sosial yang multikulturalisme dan pluralisme, dengan menumbuhkan  rasa saling memiliki, saling menghargai satu sama lain, keberagaman dalam kesatuan nusantara, menjadi nilai-nilai adiluhung yang terpancar dalam setiap gerak dan tingkah laku, yang dapat mendorong terbentuknya shared property dan shared entitlement. Sebagai contoh, saya secara individu dan sosial datang dari kawasan Barat nusantara mesti dapat menghargai, menikmati dan merasakan sebagai milik sendiri dari berbagai unsur kebudayaan yang terdapat di kawasan Timur dan Tengah  Nusantara, demikian juga sebaliknya. Mesti dipahami bahwa realitas Nusantara dengan segala perbedaan yang melekat baik secara geografinya, demografinya, religiusitasnya, kulturalnya, keseniannya, adatistiadatnya, identitasnya, dan sebagainya mesti mampu di pertahankan sebagai potensi utama dalam membangun dunia pariwisata.

Karena kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang perlu berinteraksi dengan manusia-manusia lain di dalam hidupnya, setiap individu dan kelompok harus bisa menyingkirkan berbagai kendala yang menghambat proses interaksi termasuk berbagai perbedaan yang dimiliki. Saling menghargai perbedaan adalah pondasi kokoh dalam kehidupan yang notabene adalah penuh dengan perbedaan. Kecerdasan menghargai dan mengelola perbedaan harus dikondisikan agar tercipta tatanan kehidupan yang konstruktif, terbentuknya hubungan saling menguntungkan atau mutual, serta menanam, menyuburkan dan memelihara damai antar individu atau kelompok, individu dengan individu dan atau kelompok individu lainnya. Memang bukan dengan menghilangkan perbedaan-perbedaan yang ada, tetapi saling menghargai perbedaan-perbedaan tersebut.

Multikulturalisme bisa dikatakan sebagai sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara social kebudayaan. Nusantara dengan keanekaragaman suku-suku bangsa, adat istiadat, bahasa, tradisi, kearifan lokal, keragaman agama dan kepercayaan tradisional dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya.

Pemahaman tentang multikulturalisme dan pluralisme dapat memberikan ruang nyaman bagi paradigma perbedaan sebagai salah satu entitas mendasar kemanusiaan seorang manusia. Multikulturalisme akan menjadi jembatan yang mengakomodasi perbedaan etnik dan budaya dalam masyarakat yang plural. Sebagai makhluk individual, manusia secara perorangan memiliki egoisitas, bersama sejumlah karakteristik individualnya yang juga saling berbeda antara satu individu dengan individu lain. Sebagai makhluk sosial manusia tunduk pada keniscayaan untuk tidak mungkin hidup tanpa manusia lainnya. Dari kebutuhannya akan individu lain tersebut lahirlah kehidupan berkelompok. Yang kemudian juga akan melahirkan karakteristik khas kelompok yang juga berbeda dengan kelompok-kelompok lain. Bahwa eksistensi makhluk manusia memiliki sifat-sifat, hukum-hukum dan norma-norma, identitas, adatistiadat, sejarah yang secara kodrati melekat sebagai suatu keniscayaan universal.

Konsekwensi logisnya, kehidupan manusia yang berkelompok-kelompok, apalagi dengan hadirnya manusia-manusia dari luar kelompok tersebut, itu mensyaratkan perlunya adanya saling menghargai, membangun relasi, interaksi, komunikasi, interkoneksi dan jejaringan dan kerjasama, untuk kemudian satu sama lain hendaknya menjadi saling mengenal, mengerti dan memahami secara bersama segala bentuk keharusan komunikatif, sosiologis, antropologis dan lainnya. Mengingat hal-hal tersebut adalah sangat berperan penting dan berguna dalam membangun dan membina suatu tata kehidupan bersama yang harmonis, saling mengayomi, saling menghargai, mendamaikan, saling membangun dalam segala bidang termasuk pariwisata tentunya.

Suku-suku bangsa yang mendiami Sulawesi Utara sebagai sebuah bangsa adalah entitas yang majemuk secara agama, kepercayaan, sejarah, identitas, etnis, kultur, adat istiadat, kesenian bahkan pandangan politik dan sebagainya. Keberagaman tersebut mesti dapat dikelola dengan baik dan menjadi sebuah kekuatan dan modal yang pada masanya membawa Sulawesi Utara menjadi titik tolak peradaban bagi wilayah di sekitarnya. Sikap Manusia secara individu dan sosial tunduk pada keniscayaan keberagaman dan kemampuan mengelola perbedaan tersebut akan mampu membawa Sulawesi Utara menjadi identitas yang kosmopolit, egaliter, progresif terhadap gagasan baru, selama tidak mengganggu indentitas sejatinya atau local wisdom.

Sulawesi Utara yang terletak di ujung utara Pulau Sulawesi dengan Ibu kota terletak di kota Manado, provinsi ini di sebelah selatan berbatasan dengan provinsi Gorontalo yang merupakan hasil pemekaran wilayah dari provinsi Sulawesi Utara. Sementara kepulauan Sangihe dan Talaud merupakan bagian utara dari provinsi ini  dan berbatasan langsung dengan Davao del Sur di Negara Filipina. Sampai saat ini, memiliki 11 Kabupaten dan 4 Kota, yaitu Kabupaten Boloaang Mongondow, Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Bolaang Mongondow Timur, Kab. Bolaang Mongondow Utara, Kab. Kepulauan Sangihe, Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, Kabupaten Kepulauan Talaud,  Kab. Minahasa, kab. Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara, Kota Bitung, Kota Kotamobagu, Kota Manado dan Kota Tomohon.

Kota Manado sebagai Ibu Kota Provinsi Sulawesi Utara, boleh disebut sebagai manifestasi atau cerminan dari berbagai suku, subsuku bangsa dari berbagai kabupaten/kota yang terdapat di Sulawesi Utara. Walau tidak semua kabupaten/kota/desa dapat ditelusuri, namun Kota Manado, Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Bitung, dan Tomohon dapat dijadikan sample bahwa masyarakat Sulawesi Utara dapat hidup dengan harmonis dalam kemajemukan dan keberagaman. Hal ini diperkuat dengan adanya proses interaksi dan komunikasi secara langsung dengan masyarakat dari semua kabupaten/kota Sulawesi Utara dalam sebuah kesempatan sosialiasi PNPM Pariwisata Desa  di Kota Manado.

Memang, masyarakat di masing-masing kabupaten/Kota Sulawesi Utara, memiliki keunikan dan karakteristik yang khusus, namun bagi saya secara umum masyarakat Kota Manado dapat menjadi cerminan dari keberagaman-pluralisme masyarakat dari seluruh kabupaten/kota yang terdapat di Sulawesi Utara.

Kota Manado dikenal dengan kemajemukan dan keberagamannya, dalam catatan sejarah, bahwa Kota Manado tumbuh dengan keragaman dan kemajemukan manusia secara individu dan sosial yang terus bergerak dalam pelintasan budaya yang unik. Menjadi melting pot bagi berbagai kepentingan manusia yang datang lalu mendiami kota ini. Keragaman etnik, sub etnik, dan kelompok yang mendiami Kota Manado, menunjukkan bahwa dalam sejarah perkembangannya telah menerima dengan begitu mudah ide-ide pluralism dan multikulturalisme.

Sebagai conoh, di kota ini terdapat kawasan Kampung Cina, Kampung Arab, Kampung Ternate, Kampung Bugis, Kampung Islam, dan Kampung Kodo; juga Kampung Tombariri, Kampung Tomohon, Kampung Tondano, Kampung Kakas, dan Kampung Borgo dan sebagainya.

Bagi mereka yang lahir, tumbuh, dan besar atau menetap di wilayah Manado, terlepas apakah manusia itu berasal dari Jawa, Batak, Bali, Cina, Arab,  makasar, Gorontalo, Sanger, Bugis, Ternate, Papua, Aceh dan lain-lain hidup serta menghidupkan kota ini berdasarkan pekerjaan maupun profesi mereka masing-masing, semua pada akhirnya di sebut orang Manado. Artinya populasi manusia di Manado tidak lagi didominasi oleh salah satu etnik atau sub etnik tertentu. Multikultural dan pluralisme merupakan ciri dan karakter yang dimaknai dengan adanya rasa keadilan, kesetaraan, dan non diskriminatif. Kota Manado menjadi tempat bagi setiap warga kotanya untuk saling berinteraksi satu dengan yang lainnya.

Sesuai dengan ungkapan orang Manado; Torang samua basudara (kita semua bersaudara), saling baku sayang (menyayangi), kong baku beking pande (senantiasa saling bikin pintar antara yang satu dengan lainnya).

Seperti ungkapan diatas, semoga saja menjadi manusia yang mudah menerima prinsip-prinsip multikulturalisme dan pluralism, sehingga sebagai sebuah bangsa dengan entitas yang majemuk-pluralism dapat dikelola dengan baik dan benar akan menjadi kekuatan dan modal utama bagi Masyarakat Sulawesi Utara dalam membangun termasuk dunia pariwisata.

 

Dosen Fisip Universitas Malikussaleh Aceh, Staf Ahli Pemberdayaan Program PNPM Pariwisata Wil. V (Desa wisata)

Email: kamaruddinkuya76@gmail.com HP. 0813 9502 9273 

Isi Artikel dan Foto yang diunggah menjadi tanggungjawab SIPer
Komentar
Nama
Masukkan Kode verifikasi :