Home Humaniora
Minggu,16 Agustus 2015 | 15:11

Merdekakah?

Pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Unimal Aceh Ketua Development for Research and Empowerment - DeRE-Indonesia (Menjalankan Program Mingguan - Sekolah menulis dan kajian media (SMKM-Atjeh) dan Atjeh Analyst Club (A2C) + GERAKAN SOSIAL BARU +
Merdekakah?

Salah satu sisi kehidupan di pedalaman Aceh Utara-Kamaruddin Hasan

Setiap tahun jelang proklamasi kemerdekaan negara bangsa ini, senantisa memperingatinya dengan berbagai acara resmi seremonial maupun pesta rakyat. Pesta rakyat di wujudkan dengan beragam acara termasuk ragam perlombaan dan kebanyakan dengan biaya swadaya rakyat sendiri. Rakyat negara ini juga memper-elok lingkungannya dengan umbul-umbul merah putih, membersihkan lingkungannya, mengecet pagar, bahkan pohon-pohon dipinggir jalan juga diwarnai bendera kebangaan. Itu semua adalah wujud rasa cinta yang dalam, wujud nasionalisme, jiwa kebanggaan terhadap negara ini.

Identitas kebangsaan dan kebanggaan terhadap negara masih sangat besar ditebarkan oleh dominan rakyat negara ini. Rakyat senantiasa mewujudkan rasa syukur dengan penuh keihklasan dan kejujuran, terkadang tanpa memperdulikan semua realitas situasi dan kondisi negara. Itulah wujud kejujuran dan keihlasannya.

Realitas ini juga sangat jelas terlihat dalam memperingati 70 tahun proklamasi kemerdekaan mulai dari Sabang sampai Maroke. Rakyat dengan kejujuran dan keikhlasannya, rela tidak mempertanyakan; MERDEKAKAH?

Merdekakah mereka dari merdeka dari kemiskinan, merdekakah dari penghidupan yang layak, merdekakah dari penganguran, merdekakah dari akses pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Merdekakah mereka dari akses pelayanan kesehatan baik dan adil. Merdekakah mereka dari pelayanan publik yang baik, benar, jujur, adil dan manusiawi. Merdekakah mereka dari kesengsaraan, dari akses ekonomi yang mensejahterakan. Merdekakah meraka dalam menguasai Sumber Daya Alamnya sendiri. Merdekakah mereka dari perlakuan yang tidak beradab dan bermartabat. Merdekakah mereka dari korban-korban perilaku korupsi negara dan sebagainya.

Rakyat rela untuk tidak mempertanyakan itu, saat ini!  Itu adalah perjuangan terberat rakyat negara ini. Hal tersebut juga sebagai bukti bahwa rakyat memang sangat mencintai dan bangga dengan negaranya. Negara sebagai hasil mahakarya mereka. Negara yang penuh wibawa, negara yang bermartabat, negara yang mandiri, negara yang juga mencintai dan sangat menghargai yang membangun dan menghidupkannya yaitu rakyaknya. Mestinya Negara tahu diri! Dan sangat jelas, bukan negara hasil karya atau boneka bangsa lain.

Memang,  70 tahun sudah proklamasi kemerdekaan negara bangsa ini, senin tanggal 17 Agustus 2015. Tentu tidak muda lagi, dengan generasi silih berganti dan tentu tiap zaman memiliki jiwadan perannya masing-masing.

Dalam setiap jiwa Rakyat sangat optimis, bahwa negara ini menjadi negara bangsa yang besar. Optimisme ini, menghiasi dalam ranah wacana dari berbagai bentuk dan jenis komunikasi yang dapat kita saksikan; mulai dari obrolan warung kopi, diskusi-diskusi formal dan non formal, media massa baik konvensional maupun new media, seminar-seminar dan lain-lain, dari semua kalangan.

Pertanyaan, kalau rakyat tidak optimis-cinta dan bangga dengan negara ini; untuk apa rakyat senantiasa mencari solusi dengan berbagai cara dan perspektif; tentang  krisis multidimensi yang dialami negara ini termasuk, ya tentu juga tentang melemahnya mata uang rupiah. Tentang krisis kepemimpinan negara ini, tentang langkanya kejujuran, tentang melemahnya nilai-nilai agama, moral, adat-istiadat, budaya.Tentang korupsi, tentang identitas diri sebagai bangsa. Tentang bagaimana cara menghargai jasa pahlawan termasuk veteran. Tentang harga diri dan martabat negara bangsa di hadapan bangsa negara lain, disaat negara bangsa lain menguasai sumberdaya yang ada di negara ini dengan tanpa menghargai sedikitpun bangsa negara ini.

Rupanya, cita-cita bangsa ini untuk menjadi besar, tidak cukup hanya dengan menghargai jasa-jasa pahlawannya. Seperti ungkapan Bung Karno bahwa, “hanya bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawanlah kelak menjadi bangsa besar”.

Seiring waktu berjalan, yang akan menjadi bangsa yang besar adalah bangsa yang merdeka yang sebenar-benarnya merdeka. Merdeka seperti yang disampaikan diatas. Juga bangsa besar adalah bangsa yang kuat dengan identitasnya, karakternya, kebudayaannya, kejujurannya. bangsa besar adalah bangsa yang terus mempelajari sejarahnya secara benar dan jujur. Bangsa yang besar adalah tentu bangsa yang menghargai pengorbanan pahlawan-pahlawanya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang saling menghargai.

Lebih jauh lagi, bangsa yang besar adalah bangsa yang kuat dalam Agamanya. Bangsa besar adalah bangsa yang kuat dalam Ilmu Pengetuan dan tehnologi. Bangsa besar adalah bangsa yang kokoh dan mandiri dalam politiknya, ekonominya, hukumnya, budayanya, identitasnya. Bangsa besar adalah bangsa yang mampu menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Bangsa besar adalah bangsa yang tidak mudah di doktrik dan dijadikan boneka oleh negara bangsa lain. Diri sendirilah sebagai bangsa yang mampu menjawab, memperjuangkannya dan menjelmakannya.

Realitas dan fenomena kekinian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pertanyaan mendasar tetap muncul dari lubuk hati rakyat paling dalam; MERDEKAKAH?Tentu pertanyaan ini menjadi sangat sulit dijawab.

Merdekakah, ketika cakrawala bumi pertiwi ini masih dalam keadaan rubuh tersungkur, masih dalam kesulitan hidup yang semakin melilit kehidupan. Merdekakah, ketika kemiskinan menjadi sahabat yang sangat setia dengan angkatnyapun terus meningkat. Merdekakah, ketika pengangguran menjadi teman setia kehidupan yang angkanya terus melambung.

Merdekakah, ketika masih tersimpan keputus-asaan yang menjadi nada kian merusak gendang pendengaran, himpitan kemelaratan menjadi pasrah sebagai nasib yang wajib diterima tanpa kekuatan untuk merubahnya.

Merdekah, ketika negara masih terus mencetak bangsa menjadi pengemis, walau jiwa menangis ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa tertancap sangat dalam dan sangat membekas dalam hati sanubari.

Merdekakah, ketika memori dipenuhi sikap apatisme, skeptisme dan fesimisme. Merdekakah, ketika pesta korupsi berlansung meruyak negeri membuat bangsa sekarat disemua segi. Merdekah, ketika negara nihil praktek ideologi kebangsaan, ketika koalisi partai politik melupakan konstituennya.  

Merdekakah, ketika hobby mengmark-up anggaran negara-uang rakyat - sudah menjadi-jadi. Merdekakah, ketika langit-langit akhlak tersungkur merambah sampai kedunia pendidikan bahkan kedua pendidikan pesantren yang semestinya menjadi contoh penarapan ahklak mulia.

Merdekakah, ketika praktek bisnis negara sunyi dari akhlak dan kejujuran, proyek-proyek yang habis dikunyah segelintir keluarga dan mereka  kenyangnya terengah-engah diatas jutaan rakyat yang kelaparan. Merdekakah, ketika negara tidak peduli, membiarkan kegiatan pertambangan merusak lingkungan hidup, membiarkan hutan-hutan digunduli, hutan lindung dibabat, lahan pertanian yang tidak terurus dan sawah-sawah kering, berubah fungsi dan satwa liar yang tidak memiliki tempat tinggal yang nyaman.

Mengutip syair dari Taufik Ismail, tentu dengan gaya bahasa yang relatif berbada. Merdekakah, ketika negara melahirkan generasi yang sangat kurang rasa percaya diri. Merdekakah, ketika negara meminjam uang ke mancanegara dan rakyat yag harus menanggung beban derita berkepanjangan. Merdekakah, ketika negara terbungkuk berikan kepala kepada negara multi-kolonialis dan dengan elegansi ekonomi mereka ramai-ramai pesta kenduri sambil kepala kita dimakan.

Merdekakah, ketika negara masih dicengkeram kuku negara multi-kolonialis, beratus juta rakyat menggelepar menggelinjang, terperangkap, terjaring di jala raksasa hutang. Sisi lain, pedagang kecil mati dengan meninggalkan hutang, rakyat mati tinggal belulang. Rakyat miskin selalu minum mimpi, makan angan-angan dan berlansung sudah sangat lama.

Merdekakah, ketika segelintir orang dinegara ini teramat kaya, bahkan hingga orang-orang di negeri-negeri yang jauh disana, mereka dengan gaya hidup boros berasaskan gengsi dan fanatisme mengimpor barang luar negeri.Mereka dengan gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis.

Merdekakah, ketika segelintir orang dinegera ini, dengan sangat mudah bisa makan harga satu porsi setara untuk mengisi perut kosong 100 rakyat miskin.  Merdekakah, ketika tidak ada lagi yang menjahit sakit politik, hukum, ekonomi sosial budaya dengan sengenap kemampuan.

Merdekah, ketika negara hasil karya ini tidak lagi menjadi pranata sebagai prestasi peradaban manusia untuk tujuan-tujuan fitrahnya. Negara tidak lagi diselenggarakan dengan nilai-nilai ketuhanan, keadilan, peradaban, kebersamaan dan azas kedaulatan rakyat. Merdekakah, ketika negara tidak memahami dengan benar dan baik bahwa nusantara ini dihuni oleh manusia-manusia yang berlatar belakang etnik, agama, suku, dan bangsa yang beragam.

Merdekah, ketika negara hanya mampu mendefinisikan keindonesiaan lewat kacamata Jakarta dan pulau Jawa. Negara tidak mampu melihat rakyat yang tersisih yang tidak tersentuh pembangunan dan perberadaban. Merdekakah, ketika negara masih berprilaku membantai rakyatnya, intimidasi, pengusiran, pengasingan, intoleransi dan ketidakadilan. Merdekakah, ketika negara tidak mampu lagi masuk kedalam ranah kognitif rakyatnya.

Merdekakah, ketika negara tidak mampu melihat anak-anak negeri yang kurus ringkih, busung lapar, pandangan mata hampa, tanpa keinginan dan harapan.Anak-anak yang tidak tercatat di sekolah manapun di negara ini.

Merdekakah, ketika negara masih bertanya siapa itu rakyat? di mana alamatnya, bagaimana potret nafkahnya, bagaimana kesehatannya dan pendidikannya, bagaimana populasinya, bagaimana databasenya. Merdekah, ketika negara masih memandang rakyat sebagai kumpulan orang-orang dengan wajah lugu, gampang dibodohi, gampang dibariskan, mudah dicatat sebagai sederetan angka, gampang dimusnahkan.

Merdekakah, ketika pemimpin-pemimpin negara ini mulai level bawah sampai paling tinggi hanya memanfaatkan amanah jabatan untuk sebar-besarnya kepentingan diri sendiri, keluarga dan koleganya,penuh hiruk-pikuk sandiwara yang narsis dan tamak dengan mengumbar egonya.

Merdekakah, ketika negara, inti dari Pembukaan Undang-Undang Dasarhanya jadi retorika dan slogan belaka.Tanpa upaya sungguh-sungguh, ihklas dengan segenap jiwa raganya dalam  melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. MERDEKAKAH?

 

Isi Artikel dan Foto yang diunggah menjadi tanggungjawab SIPer
Komentar
Nama
Masukkan Kode verifikasi :