Opini

Negeri Serba Darurat

Ironisnya, hampir semua analisis pengamat, selalu saja menempatkan keluarga sebagai sumber munculny...

Hukuman Kebiri Perlukah?

Hukuman kebiri bukanlah hal baru, hukuman kebiri juga pernah diberlakukan oleh beberapa negara sepe...

Plus-Minus Presidential Threshold

Keutamaan menggunakan presidential threshold sebagai status quo dalam Pemilu serentak 2019 sebenarn...

Kepemimpinan Ulama Di Aceh

Dalam konteks Aceh, apakah ada Parpol yang bersedia mengusung ulama yang dalam kenyataannya “miskin...

HMI: Kader Bangsa

Sebagai pencetak kader bangsa, jika HMI dikatakan korup dan sangat jahat tentu memunculkan reaksi k...

Dunia Pendidikan Dan Kekerasan

Jika kita ingin menghilangkan kekerasan maka hilangkanpendidikan kekerasan, menghapus tontonan keke...

Suramnya Pendidikan Kita

Ada kesan sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan adalah suatu hal yang berada di wilaya...

Mimbar Jumat

Negeri Serba Daru...

Ironisnya, hampir semua analisis pe...

Hukuman Kebiri Pe...

Hukuman kebiri bukanlah hal baru, h...

Plus-Minus Presid...

Keutamaan menggunakan presidential ...

Kepemimpinan Ulam...

Dalam konteks Aceh, apakah ada Parp...

Lentera

Negeri Serba Daru...

Ironisnya, hampir semua analisis pe...

Hukuman Kebiri Pe...

Hukuman kebiri bukanlah hal baru, h...

Plus-Minus Presid...

Keutamaan menggunakan presidential ...

Kepemimpinan Ulam...

Dalam konteks Aceh, apakah ada Parp...

Lentera Ramadhan

Negeri Serba Daru...

Ironisnya, hampir semua analisis pe...

Hukuman Kebiri Pe...

Hukuman kebiri bukanlah hal baru, h...

Plus-Minus Presid...

Keutamaan menggunakan presidential ...

Kepemimpinan Ulam...

Dalam konteks Aceh, apakah ada Parp...

Banner
Momentum Fundamental Aceh
Articles | Opini
Written by muhammad faisal on Monday, 07 April 2014 04:56   
Share
Momen penting transformasi konflik menuju proses damai yang lebih stabil dan berkelanjutan telah dilalui. Kini bagaimana mengikat komitmen damai bagi semua orang

Sudah menjadi kebiasaan bahwa tensi politik, sosial, ekonomi di wilayah bekas konflik seperti Aceh selalu memanas seiring munculnya rivalitas kekuatan politik, sosial dan ekonomi jelang Pemilu 2014. Politik kerap kali didefinisikan sebagi who gets what and when. Sebuah upaya mencapai kekuasaan, yang sejatinya memang menarik minat banyak orang.

Sudah sepatutnya kita mengingat, memahami, menganalisa kembali beberapa proses penting sebagai momentum fundamental bagi Aceh. Momentum pertama,  musibah gempa dan tsunami 26 Desember 2004 berkekuatan  8,9 Skala Richter disusul gelombang tsunami melanda hampir seluruh daerah Aceh dan Nias, Sumatera Utara serta 11 negara lainnya. Momentum ini mesti menjadi landasan dalam setiap gerak pembangunan Aceh.

Momentum kedua,  proses komunikasi dialogis, yang diawali Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara sepihak menyatakan gencatan senjata berkaitan musibah tsunami pada 27 Desember 2004--berlanjut tanggal 29 Januari 2005 antara RI-GAM yang difasilitasi yayasan Crisis Manajement Initiative (CMI). Dialog kedua berlansung pada 21-23 Februari 2005, pada 12-16 April 2005 sebagai dialog ketiga dan dilanjutkan  26 - 31 Mei dialog keempat RI - GAM di Helsinki.

Momentum ketiga, MoU Helsinky 15 Agustus 2005. Pada 12-17 Juli dialog kelima RI-GAM di Helsinki berlanjut pada 15 Agustus 2005 RI-GAM melaksanakan perjanjian damai ditandatangani Malek Mahmud (GAM) dan Hamid Awaluddin (RI) di Helsinki. Proses perdamaian yang ditandai lahirnya MoU Helsinki tahun 2005 telah mentransformasi Aceh dari medan perang menjadi arena pertarungan politik paling dinamis sekaligus laboratorium demokratisasi yang melahirkan terobosan inovatif dalam politik Aceh dan Indonesia.

Laga senjata berubah menjadi adu argumen, hutan belantara, berubah menjadi hamparan meja perundingan. Komunikasi emosional menjadi rasional, lawan menjadi kawan, egois menjadi humanis. Dalam konteks ini, politik, negosiasi, komunikasi, diplomasi secara santun menjadi taruhan yang tidak mungkin dinafikan. Walaupun perjanjian ini menimbulkan pro dan kontra pada kalangan elit politik di Jakarta dan Aceh, namun dari segi keberanian, tampaknya pemerintah SBY-JK telah melampaui batas kekhawatiran beberapa presiden sebelumnya. SBY-JK saat itu tetap konsisten memilih cara damai sebagai resep mengakhiri konflik Aceh.

Momentum keempat, adalah damai bersemi, bahwa setelah perjanjian damai ini tidak ada lagi perang. Bumi Serambi Makkah menjadi aman, rakyat bebas melakukan berbagai aktivitas tanpa ancaman dan teror. Nafas persengketaan dan permusuhan yang telah berakar lebih dari 30 tahun lebih di Aceh mulai berhenti. Ia tergantikan angin perubahaan yang lebih signifikan dan makin melegakan. Simpul penting transformasi konflik menuju proses damai yang lebih stabil dan berkelanjutan telah dilalui.  Momen penting transformasi konflik menuju proses damai yang lebih stabil dan berkelanjutan telah dilalui. Kini bagaimana mengikat komitmen damai bagi semua orang, bukan hanya pihak yang bertikai, demi upaya merajut kehidupan khususnya Aceh dan Indonesia pada umumnya.

Momentum kelima, Pemilukada 11 Desember 2006. Cahaya perdamaian itu makin bersinar ketika Pemilukada yang berlangsung 11 Desember 2006 berjalan secara demokratis telah mampu memberi ruang baru bagi sirkulasi kekuasaan di Aceh. Pemilukada pun melahirkan pemimpin yang beragam, mulai dari kelompok yang selama ini terbuang dari siklus kekuasaan/outsider hingga masyarakat sipil yang dianggap berprestasi untuk menjaga momentum membangun Aceh. Pemilukada menunjukkan besarnya keinginan dari rakyat sipil Aceh untuk menyongsong perubahan politik pemerintahan dan mengharapkan adanya visi pembangunan yang lebih mengakar pada kepentingan rakyat luas.

Pemilukada menggembirakan semua pihak; Jakarta, para stakeholders rehabilitasi dan rekonstruksi, kelompok sipil demokratis, dan akar rumput. Suksesnya Pemilukada 2006 menjadi tonggak demokratisasi, pascaterpilihnya gubernur-wagub kemudian bupati-wabup/wali kota-walkot di Aceh.

Momentum keenam, lahirnya partai politik lokal (Parlok). Parlok sebagai alat penyalur aspirasi masyarakat Aceh diharapkan dapat membawa Aceh ke arah yang lebih baik, mandiri dan modern. Parlok diharapkan mampu membangun pencitraan diri dalam konteks keAcehan.  Hal tersebut sangat tergantung pada landasan ideologis, strategi-taktik, dan program-program yang diusung. Di samping itu, juga memiliki kemampuan menerjemahkan kondisi objektif  keAcehan.

Dalam konteks keAcehan dan sistem politik nasional, bagaimana membangun kanal politik secara nasional, karena arah proses perdamaian abadi masih sangat bergantung konstelasi politik di nasional. Parlok hanya menjangkau saluran aspirasi masyarakat di tingkatan DPRA dan DPRK. Eksistensi Parlok di Aceh memang tidak menjadi perdebatan yuridis lagi ketika UU No.11/2006 (UU Pemerintahan Aceh) dan PP No.20/2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh telah mengamanatkannya. Kehadirannya juga merupakan bagian dari road map to peace process di Aceh seperti yang tertuang dalam kesepakatan Helsinki. Beberapa kemajuan dalam tahapan perdamaian dan rekonstruksi memang memberikan nilai yang mampu memperpendek jaring transisi

Momentum ketujuh, Pemilu legeslatif 9 April 2009, merupakan arena pembuktian kekuatan bagi Parlok dan alat ukur seberapa kuat parnas masih bisa bertahan untuk merebut kursi-kursi di DPRA dan DPRK-DPRK di Aceh. Dengan UU No.11 tahun 2006, Pemilu 2009 menjadi lain, kepesertaan kontestan Parlok membawa nuansa baru dalam sistem demokrasi di Aceh dan Indonesia. Kehadiran Parlok menjadi titian penting bagi proses transisi politik Aceh. Keberhasilan Parlok yaitu Partai Aceh (PA) bentukan mantan kombatan GAM meraih lebih dari 45 persen suara pemilih di seluruh Aceh dalam Pemilu legeslatif 2009, dapat dikatakan keberhasilannya menguasai parlemen di Aceh juga keberhasilan transformasi politik.

Momentum kedelapan,  Pilpres 8 Juli 2009, saat itu terdapat tiga kandidat pasangan Capres Cawapres (SBY-Boediono, Megawati-Prabowo dan JK-Wiranto). Masing-masing pasangan  mempunyai kelemahan namun juga telah memiliki sejumlah kelebihan. Memang akhirnya rakyat Aceh dominan memilih pasangan SBY–Boediono. Sebenarnya sebelumnya peran SBY dan JK dalam proses damai Aceh lebih dominan, lewat tangan merekalah sehingga mampu menghentikan konflik berkepanjangan di bumi tanah Iskandarmuda dengan adanya perjanjian MoU Helsinki.

Mereka sama-sama berjasa dalam proses damai Aceh. Sehingga pada tataran praktis aktivis, politisi sipil PA/KPA sebagai mesin politik yang kuat di Aceh saat itu, masih terjadi perbedaan dukungan tehadap Capres dan Cawapres. Satu sisi ada yang mendukung sosok SBY tapi sisi lain ada yang cenderung mendukung JK. Pihak PA-KPA cermat melihat pasangan mana yang akan lebih berpeluang untuk dapat dijadikan rekan kerja di Jakarta. Ke mana arah angin PA-KPA saat itu kesitu pula arah rakyat Aceh. Politik memang susah diprediksi, terutama di Aceh. Hasil prediksi diatas kertas selalu meleset dari perhitungan sebenarnya.

Momentum kesembilan, Pemilukada 9 April 2012 yang serentak di 17 dari 23 kabupaten/kota se Aceh. Berbeda dengan Pemilukada lainnya yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), di Aceh diselenggarakan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Hal lain yang membedakan adalah calon kepala daerah/wakil kepala daerah boleh diikuti calon independen. Selain itu setiap calon kepala daerah mengikuti tes baca Alquran. Berdasarkan data KIP Aceh, jumlah pemilih Pemilukada Aceh saat itu tercatat sebanyak 3.250.000 orang, tersebar di 23 kabupaten/kota, yang memilih di 10.361 tempat pemungutan suara (TPS).

Momentum kesepuluh, Pemilu legislatif (Pileg) 9 April 2014. Pemilu legislatif telah dilalui sebanyak 3 kali dengan 4 presiden berbeda pascapemerintahan Presiden Soeharto. Dalam periode 10 tahun ke belakang telah banyak perubahan, di antaranya amandemen UUD 1945, kebebasan pers, pemisahan yang jelas antara militer dan sipil, kebebasan mengeluarkan pendapat, munculnya berbagai partai politik bahkan partai lokal khususnya Aceh. Namun kita sayangkan demokrasi sepertinya berhenti sebagai pesta gaduh, dan pengabaian etika.

Jelang Pileg 9 April 2014, kekerasan demi kekerasan politik dalam setiap proses tersebut dengan mengatas namakan demokrasipun berlansung terus menerus. Kita tidak tahu siapa yang “bermain” di Aceh diatas altar Pemilu ini. Komunikasai gaya totaliterisme, kekerasan simbolik, politik tanpa etika, mobilisasi massa yang beringas, media kekerasan, kekerasan media, ingin menang sendiri, penganiyaan, teror, intimidasi, bahkan pada taraf membunuh dan lain-lain sudah menjadi ciri khas setiap event pesta demokrasi. Kekerasan, tidak saja meneror hati nurani, tetapi juga semakin mendorong kita pada batas krusial antara zona kehidupan dan kematian peradaban bangsa dan negara. Namun momentum Pileg 2014, menjadi sangat penting bagi kelangsungan proses demokrasi Aceh ke arah lebih baik.

Momentum kesebelas, Pemilu Presiden 9 Juli 2014, menjadi momentum penting bagi keberlansungan cita-cita rakyat Aceh untuk hidup damai, sejahtera dan bermartabat. Siapapun yang jadi presiden dan wakil presiden, rakyat Aceh tetap menancapkan harapan besar. Rakyat Aceh membutuhkan strategi jitu menentukan pilihan presiden dan wakil presiden. Memang kita sedang berdemokrasi di tengah kemiskinan dengan keterbatasan sumber daya manusia, terkadang yang diperdebatkan bukan substansial visi misi yang realistis namun yang dipertontonkan kegagalan. Sehingga bagi Aceh adalah siapapun presiden dan wakil presiden, mesti dapat memertahankan perdamaian Aceh, pembangunan Aceh berkelanjutan secara besar-besaran.

Terkait dengan itu, mendesak dilakukan sebagai langkah proaktif dan preventif untuk penyadaran publik dengan pendidikan politik yang baik dan benar. Penyadaran ini penting untuk tidak terpancing situasi dan kondisi yang cenderung provokatif, yang memiliki potensi chaos, dengan berbagai motivasi baik politis, ekonomi, sosial, sejarah maupun psikologis. Harapannya agar semua menyadari betapa mahalnya harga perdamaian, perdamaian mesti permanen di Aceh, Aceh mesti bisa sesegera mungkin meninggalkan masa transisi. Selain itu, perlu di sadari bahwa politik menjadi salah satu poin penting yang memberi warna wajah kita, ini ditentukan oleh warna politik yang kita jalankan sekarang. Warna putih atau hitam, bergatung pada kita baik sebagai aktor politik maupun rakyat.

Oleh Kamaruddin Hasan

Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Unimal Aceh, Ketua Development for Research and Empowerment - DeRE-Indonesia (Sekolah Menulis & Kajian Media –SMKM-Atjeh dan Atjeh Analyst Club-A2C) Email: kamaruddinkuya76@gmail.com.



 

Internasional

Politeknik Vs Universitas...

... jelas pemerintah menginginkan produk perguruan ti...

Negeri Serba Darurat...

Ironisnya, hampir semua analisis pengamat, selalu saj...

Hukuman Kebiri Perlukah?...

Hukuman kebiri bukanlah hal baru, hukuman kebiri juga...

Plus-Minus Presidential Th...

Keutamaan menggunakan presidential threshold sebagai ...

JoomlaXTC NewsPro - Copyright 2009 Monev Software LLC

Portal Harian Waspada