Sabtu, 16 Juli 2016

Arogansi Gaya Komunikasi (Politik) Jelang Pilpres 2014

id
Arogansi Gaya Komunikasi (Politik) Jelang Pilpres 2014
pilpres.
 
Oleh : Kamaruddin Hasan
Tujuan utama dari setiap proses politik negara bangsa ini adalah menjadikan rakyat paham akan politik secara benar dan baik. Sasaran utama adalah rakyat, sekali lagi rakyat. Tanpa partisipasi aktif rakyat dalam proses politik, dapat dipastikan proses politik tersebut gagal. Selain melek politik secara benar dan baik, proses politik tersebut pada tahap lanjutan mengharapkan rakyat merubah sikap untuk kemudian memilih pada hari H, bukan malah gara-gara proses politik yang dipraktekkan kurang baik bahkan dengan gaya arogan membuat rakyat apatis dan menjadi golput. Hal ini berlaku dalam proses pilpres 2014; Capres-Cawapres, partai koalisi, tim pemenangan/sukses, relawan dan simpatisan berlomba menarik simpati dan partisipasi aktif rakyat dalam proses pilpres 2014. Hakikat politik dalam negara bangsa yang demokratis adalah partisipasi aktif dari rakyatnya.

Pertanyaan mendasar adalah bagaimana praktek proses politik jelang pilpres 2014? Proses politik yang dijalankan jelang pilpres 2014, Capres-Cawapres, partai koalisi, tim pemenangan/sukses, relawan dan simpatisan dapat di saksikan, dibaca, didengar lewat berbagai media komunikasi termasuk lewat komunikasi secara lansung. Kesimpulan sementara saya pribadi bahwa jangankan ilmu tentang bagaimana menjalankan politik, pemilu yang baik, benar, zero arogansi, nihil egoisme yang berlebihan, pemahaman tentang ilmu politik dan pemilu itu sendiri masih sangat minim dan lemah.

Memang, ada sebagian politisi kita, yang sudah sangat paham bahkan menjiwai dan menjalankan proses politik dalam setiap pemilu. Paham betul definisi pemilu, tujuan, strategi, output dari proses tersebut. Tapi, tidak sedikit pula yang belum paham dengan politik dalam pemilu dan tujuannya. Hal ini baru pada tataran pemahaman tentang politik, pemilu dan tujuannya. Bagimana dengan cara menjalankan proses politik pemilu yang baik dan benar, yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Bagi saya, ilmu tentang politik dan pemilu itu penting? Namun yang lebih penting, saya kira adalah ilmu bagaimana menjalankan proses politik, pemilu yang benar, baik, jujur, terbuka, bebas sesuai dengan prinsip demokrasi tanpa arogansi dan egoisme berlebihan.

Proses politik dan pemilu pada prinsipnya merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemilu tidak lain merupakan intisari dari proses demokrasi. Pemilu merupakan mengejawantahkan hak-hak asasinya rakyat dalam bidang politik.

Pemilu merupakan anak kandung demokrasi yang dijalankan sebagai perwujudan prinsip kedaulatan rakyat dalam realitas pemerintahan atau ketatanegaraan. Prinsip-prinsip dalam pemilu yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat atau demokrasi ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dari prinsip-prinsip pemilu tersebut dipahami bahwa pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah daerah atau negara yang menganut prinsip-prinsip demokrasi. Pemilu juga sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal. Pemilu juga sebagai salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan Pemilu itu sendiri.

 Nah, kembali ke pertanyaan mendasar diatas, tentang praktek politik jelang pilpres 2014 yang diperankan minimal oleh Capres-Cawapres, partai koalisi, tim pemenangan/sukses, relawan dan simpatisan lewat berbagai media komunikasi juga komunikasi secara lansung.

Pertama, mesti kita akui bahwa pemahaman tentang ilmu politik dan pemilu masih minim dan lemah dari semua kalangan di negara ini. Hal ini terjadi karena lembaga/institusi/partai politik yang mestinya menjalankan fungsi salahsatunya sebagai pendidikan politik bagi rakyat masih berjalan ditempat.

Kedua, akibat dari hal pertama, menyebabkan cara-cara menjalankan politik dan pemilu termasuk jelang pilpres 2014, masih diwarnai tindak kekerasan, kampanye hitam, propaganda negative, praktek arogansi dan egoisme kubu yang berlebihan, kesombongan, keangkuhan, gaya komunikasi top down dan sebagainya. Masih jauh dari praktik politik yang elegan, bermartabat, penuh etika, nihil komunikasi efektif, bahkan masih jauh sikap-sikap negarawan.

Lihat saja bagaimana gaya komunikasi dipraktekkan dihadapan rakyat. Padahal gaya komunikasi dari masing-masing kubu merupakan jendela untuk memahami bagaimana rakyat bahkan dunia memandang dirinya. Mestinya calon pemimpin dan tim pemenangannya mampu mengkomunikasikan programnya kepada rakyat pemilih dengan cara-cara elegan, beretika, sehingga terbentuk kepercayaan (trust) rakyat sehingga dapat menumbuhkan harapan rakyat.

Secara teoritis kita dapat melihat bagaimana gaya komunikasi atau communication style yang dipraktekkan masing-masing kubu dalam pilpres 2014, sebagai bahan masukan bagi kita dalam menentukan pilihan dalam Pilpres 2014. Gaya komunikasi merupakan seperangkat perilaku komunikasi yang terspesialisasi dalam suatu situasi tertentu. Gaya komunikasi tentu ada yang model pasif, agresif, penggabungan pasif-agresif dan ada yang tegas atau asertif. Masing-masing gaya komunikasi tersebut terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respons atau tanggapan tertentu dalam situasi yang tertentu terutama situasi menjelang pilpres.

Memang yang diharapkan terbentuk gaya komunikasi The Equalitarium style dimana terjadi kesamaan dan kebersamaa dengan rakyat. Gaya komunikasi ini ditandai dengan berlakunya arus penyebaran pesan-pesan politik verbal dan nonverbal maupun tertulis yang bersifat dua arah atau two-way traffic of communication. Dalam gaya ini, tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya, setiap rakyat dapat mengungkapkan gagasan ataupun pendapat dalam suasana rileks, santai dan informal. Dalam suasana yang demikian, memungkinkan rakyat mencapai kesepakatan dan pengertian bersama. Gaya komunikasi yang memiliki sikap kepedulian yang tinggi serta kemampuan membina hubungan baik dengan rakyat baik dalam konteks pribadi maupun dalam lingkup hubungan politik. Gaya komunikasi yang jauh dari arogansi dan egoism kubu-kubuan.  Dengan gaya ini akan lebih memudahkan tindak komunikasi dalam organisasi politik, gaya ini efektif dalam memelihara empati dan kerja sama dengan semua kalangan juga rakyat. Gaya ini dalam situasi apapun mudah mengambil keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi.

Atau minimal menggunakan, gaya komunikasi The Relinquishing style; gaya komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima saran, pendapat ataupun gagasan dari rakyat, dari pada keinginan untuk memberi perintah, meskipun sender mempunyai hak untuk memberi perintah dan mengontrol rakyat. Pesan-pesan politik dalam gaya komunikasi ini akan efektif ketika sender sedang bekerja sama dengan rakyat yang berpengetahuan luas, berpengalaman, teliti, serta bersedia untuk bertanggung jawab atas semua tugas atau pekerjaan yang dibebankannya.

Namun yang banyak terlihat adalah, gaya komunikasi yang bersifat Controling Style; yang bersifat mengendalikan, di tandai dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa dan mengatur perilaku, pikiran dan tanggapan rakyat. Bisa disebut komunikator satu arah atau one-way communicators. Yang memakai controling style of communication ini, lebih memusatkan perhatian kepada pengiriman pesan dibanding upaya mereka untuk berbagi pesan dengan rakyat. Tidak mempunyai rasa ketertarikan dan perhatian pada umpan balik, kecuali jika umpan balik atau feedback tersebut digunakan untuk kepentingan kubunya. Para komunikator satu arah ini tidak khawatir dengan pandangan negatif rakyat, tetapi justru berusaha menggunakan kewenangan dan kekuasan untuk memaksa rakyat mematuhi pandangan-pandangannya.

Pesan-pesan politik yang berasal dari komunikator satu arah ini, tidak berusaha menjual gagasan agar dibicarakan bersama, namun lebih pada usaha menjelaskan kepada rakyat apa yang dilakukannya. The controling style of communication ini sering dipakai untuk mempersuasi rakyat supaya bekerja dan bertindak secara efektif, dan pada umumnya dalam bentuk kritik. Namun demikian, gaya komunikasi yang bersifat mengendalikan ini, tidak jarang bernada negatif dan arogan sehingga menyebabkan rakyat memberi respon atau tanggapan yang negatif pula.

Selain itu, ada gaya komunikasi yang disebut dengan The dinamic style; gaya ini memiliki kecenderungan agresif, yang berorientasi pada tindakan atau action-oriented.  Gaya ini juga banyak digunakan juru kampanye selama kampanye pilpres 2014. Tujuan utama gaya komunikasi yang agresif ini adalah menstimulasi atau merangsang rakyat untuk merubah sikap lebih cepat. Gaya komunikasi ini cukup efektif digunakan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang bersifat kritis, namun dengan persyaratan bahwa rakyat mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi masalah tersebut.

Ada juga gaya komunikasi The withrawal style; gaya ini di gunakan malah dapat melemahkan tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari sender yang memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan rakyat, karena ada beberapa persoalan ataupun kesulitan antar pribadi bahkan organisasi politik yang dihadapi oleh sender tersebut.  Sebagai contoh, ketika seseorang mengatakan tidak ingin dilibatkan dalam persoalan yang sedang dihadapi. Bahwa ia mencoba melepaskan diri dari tanggung jawab, tetapi juga mengindikasikan sesuatu keinginan untuk menghindari berkomunikasi dengan rakyat dalam hal tema-tema tertentu.

Dari beberapa gaya komunikasi yang tergambarkan diatas, gaya komunikasi the equalitarium style of communication, merupakan gaya komunikasi yang ideal dalam proses politik jelang pilpres 2014. Karena salah dalam menerapkan gaya komunikasi, dikhawatirkan tingkat partisipasi rakyat dalam proses politik pilpres 2014 akan menurun, dan hal ini merupakan cerminan atau gambaran kualitas demokrasi kita.

Untuk itu, masing-maisng kita minimal mampu menganalisa gaya-gaya komunikasi (bermedia maupun langsung) yang dipraktekkan selama proses pilpres 2014, sehingga tidak salah memilih pemimpin 5 tahun kedepan, semoga..

Dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Unimal Aceh

Ketua Development for Research and Empowerment - DeRE-Indonesia

Email: kamaruddinkuya76@gmail.com HP. 0813 9502 9273, www. dereindonesia.com

Editor: Salahuddin Wahid

COPYRIGHT © ANTARA 2014