Salah satu sesi Acara Mufakat Budaya Sumatera (MBS)
“WONG KITO GALO”
Mufakat Budaya Sumatera (MBS) di Hotel Oasis Atjeh, Banda Aceh, 12-14 Desember 2014 lalu, melahirkan catatan-catatan menarik. Salah satunya catatan dalam rapat-rapat komisi. Mufakat Budaya Sumatera (MBS) dibagi dalam tiga Komisi yaitu komisi Sumatera dan Agama, Sumatera dan kemelayuan, dan Komisi Sumatera dan Budaya Kekerasan.
Dalam rapat komisi Sumatera dan budaya kekerasan, banyak catatan menarik dari Vegitya Ramadhani (Sumatera selatan), Gading Hamonangan Hasibuan (Aceh-Sumut), Rahmatan (Aceh), Kamaruddin Hasan Kuya (Aceh), Teuku Kemal Fasya (Aceh), Taufik Abda (Aceh) dan lain-lain. Terutama ketika membahas masalah konflik dan kekerasan di Sumatera. Beberapa catatan penting ini juga menjadi salah satu poin deklarasi kutaradja.
Fenomena konflik dan kekerasan yang sering muncul di Sumatera menjadi perbincangan public Nusantara. Lalu mengemuka pertanyaan: apakah budaya berkontribusi terhadap konflik dan kekerasan? Tentu jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab dengan jawaban yang isoteris, namun harus dijawab secara eksplanatif. Tanpa bermaksud menyederhanakan (simplifikasi), tetap diperlukan penjelasan secara umum (generalisasi) untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Salah satu catatan menarik bahwa fenomena konflik dan kekerasan yang muncul selama ini di Sumatera pada dasarnya bukanlah budaya otentik. Hal itu muncul akibat efektafsir teologis, konflik agraria, dan konfiksosial yang merupakan residu dari politik patrimonial lokal yang merugikan budaya Sumatera.
Sejatinya Sumatera telah menjadi serambi peradaban Asia tenggara dan dikenal melalui jejak-jejak sejarah, arkeologis-antropologis paling tidak sejak tiga ribu tahun lalu. Keberadaan Sumatera sebagai entitas kultural dan etnis cukup penting bagi keberadaan sejarah Nusantara. Sumatera mampu mengonstruksikan nilai-nilai peradaban, berdiaspora dalam pertemuan ras-ras penting didunia dan menjadikan laut sebagai salah satu konstruksi kulturalnya.
Kesejarahannya yang telah dikenal oleh peradaban dunia sejak abad ketujuh melalui kerajaan Sriwijaya sebagai benteng bahari terkuat dan menguasai Selat Malaka, hingga kerajaan Islam Aceh pada abad keenam belas sebagai satu lima kerajaan Islam terbesar didunia saat itu telah mampu membangun kesamaan garis cultural. Artinya Sumatera adalah tanah Melayu ,yang menjunjung tinggi hukum adat, toleransi, tatakrama perilaku, kebahasaan, dan filsafat hidup.
Kembali ke falsafah budaya Melayu inilah yang penting diangkat, bahwa berdasarkan fakta-fakta dan dokumen sejarah yang telah terpublikasi secara luas melalui pengujian metafisika dan ilmiah maka Sumatera yang berhak menyebut sebagai poros utama peradaban Melayu. Kemelayuan yang terbentang dari sejak Madagaskar hingga Honolulu bertemu pada sumber nilai peradaban utama di Sumatera.
Sumatera adalah frontier. Faktor geografis Sumatera yang bersinggungan dengan Jalur Sutera dunia membuat masyarakat Sumatera menjadi masyarakat yang lebih dulu bersentuhan gerak perubahan global. Lekuk masa kini adalah pahatan masa lalu. Demikian pula dengan corak budaya masyarakat di Sumatera. Meski masih kontroversial dan masih terus diperdebatkan, budaya Melayu dipandang sebagai budaya mainstream masyarakat di Sumatera. Namun dinamika historis membuat kontur kultural masyarakat yang satu berbeda dengan yang lain.
Jauh sebelum kolonialisme memberi warna kontras pada kehidupan masyarakat di Sumatra, Kerajaan Sriwijaya sudah terlebih dahulu memahat rupa kultur masyarakat. Kerajaan maritim yang berpusat di Sumatera bagian selatan ini merupakan negara yang berbasis pada perdagangan. Prasyarat bagi perdagangan yang dinamis adalah masyarakat yang terbuka (open society). Maka corak kultur masyarakat yang inklusif menjadi wajah masyarakat yang tinggal di wilayah Sumatera bagian selatan. Warga masyarakat dengan identitas masing-masing dapat hidup berdampingan tanpa harus terpagari oleh tembok sosial yang tebal.
Singkatnya, karakter masyarakat kawasan ini adalah multikultur. Akibatnya, diferensiasi identitas tidak berpotensi sebagai bahan peledak konflik atau kekerasan berbasis identitas. Beberapa pakar bahkan mengatakan bahwa Sriwijaya telah menginisiasi kosmopolitanisme sebelum kolonialisme. Inklusivisme masyarakat Sriwijaya rupanya kemudian meninggalkan jejak-jejak sejarah yang tetap dapat dikenali dewasa ini, baik di Sumatera Selatan sendiri, maupun di Lampung, Bengkulu, Jambi, dan Kepulauan Bangka Belitung.
Proporsi demografis menunjukkan bahwa dinding sosial antara asli dan nonasli terkadang sulit dibedakan. Wujud lain dari inklusifitas masyarakat Sumatera bagian selatan, khususnya di Provinsi Sumatera Selatan adalah konsep "wong kito galo" yang jika diterjemahkan sebagai 'orang kita semua'. Meski tampak sebagai istilah yang sederhana, namun ternyata memiliki makna mendalam. Istilah ini merefleksikan kohesivitas sosial, dimana 'kami' dan 'mereka' melebur menjadi 'kita'. Pada prakteknya, memang tidak perlu akar historis yang panjang atau adhesi sosial yang rumit untuk menjadi bagian dari 'wong kito' tersebut. Nampaknya, konsep ini bukan hanya menjadi world view dari masyarakat Sumatera Selatan, namun juga beresonansi kepada masyatakat Lampung, Bengkulu, Jambi, dan Bangka-Belitung.
Catatan mengenai sejumlah konflik dan kekerasan di Sumatera bagian selatan harus dilihat secara spesifik per kasus. Dewasa ini sejumlah konflik yang mengemuka di beberapa titik menunjukkan bahwa konflik-konflik yang terjadi dilatari oleh benturan antara ekspansi industri ekstraktif (pertambangan, perkebunan, perkayuan, dst) yang cenderung mengurangi atau membatasi akses masyarakat lokal terhadap sumber daya alam di lingkungannya.
Faktor-faktor seperti pencemaran lingkungan, perampasan tanah, perebutan lahan, dan sebagainya, menjadi akar konflik di beberapa titik sorotan. Melalui penelusuran lebih lanjut, konflik dan kekerasan yang terjadi merupakan konflik agraria, bukan konflik berbasis identitas apalagi konflik kultural.
Bukan budaya yang menjutifikasi apalagi mendorong terjadinya konflik dan kekerasan, karena secara historis terbukti bahwa masyarakat dengan budaya yang berbeda dapat hidup berdampingan di kawasan ini. Sebaliknya, justru ekspansi industri ekstraktif yang pada skala tertentu menjadi ancaman bagi kelestarian budaya lokal, bahkan justru merusak budaya lokal yang mendorong terjadinya konflik dan kekerasan di masyarakat.
Tatanan budaya yang sedemikian rupa telah sekian lama menjaga kohesivitas sosial kemudian merapuh akibat desakan industri ekstraktif yang destruktif. Eksternalitas dari rusaknya tatanan budaya itulah kemudian menyisakan problem lain, yaitu kriminalitas.
Berbeda dengan tetangganya di selatan, masyarakat-masyarakat yang berada di Sumatera bagian utara -- antara lain Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau -- relatif memiliki otonomi. Baik otonomi karena dikuasai oleh kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yang otonom, maupun 'otonom' karena konfrontasinya terhadap penguasa asing.
Otonomi berlatar konfrontasi tampak pada era kolonialisme. Masyarakat-masyarakat yang tinggal di kawasan Sumatera bagian utara relatif mandiri dibandingkan masyarakat yang tinggal di selatan. Manakala di kawasan lain di Nusantara sudah dikuasai secara efektif oleh pemerintah kolonial, masyarakat di kawasan utara Sumatera masih independen berhadapan dengan pemerintah kolonial.
Aceh menjadi salah satu catatan penting betapa pemerintah kolonial kesulitan menguasai kawasan ini, dan ambisi pemerintah kolonial untuk menguasai seluruh Sumatera baru dapat tercapai pada abad 20.
Perjuangan untuk mempertahankan otonomi mensyaratkan adanya suatu identitas dengan batas sosial yang bernas pun 'tebal'. Batas sosial antara 'kami' dan 'mereka' sangat urgen untuk membangun basis solidaritas sekaligus orientasi perlawanan antara: 'kami' yang memperjuangkan kedaulatan, dan 'mereka' yang menjajah.
Identitas kultural menjadi bagian dari amunisi patriotisme dalam arus perjuangan melawan kesewenangan kolonial. Perjuangan berbasis identitas di era kolonial ini nampaknya masih meninggalkan jejak-jejaknya dewasa ini. Sekalipun Indonesia telah menjadi negara independen, namun kesejahteraan nampaknya belum dinikmati secara luas oleh masyarakat di kawasan utara Sumatera.
Sentralisme pemerintahan era Orde Baru menempatkan Sumatera sebagai pensuplai sumber daya alam, namun bukan sebagai penikmatnya. Rantai kekerasan pun terjadi. Namun jika dirunut lebih lanjut, bukanlah segregasi budaya yang melatari konflik dan kekerasan tersebut, namun perihal ketimpangan kesejahteraan yang mendorong perluasan konflik dan kekerasan. Sejatinya, masyarakat di kawasan utara Sumatera baik Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau memiliki mekanisme pengelolaan konflik dan kekerasan berbasis budaya lokal. Mekanisme pengelolaan konflik dan kekerasan yang dikenal luas yaitu :”peusijuk” atau "tepung tawar". Mekanisme pengelolaan konflik ini, baik secara preventif maupun sebagai kuratif, memiliki banyak varia, nomenklatur, dan modifikasi ritual, yang masih dipraktekkan oleh masyarakat adat masing-masing.
Ekskalasi konflik dan kekerasan disebabkan kegagalan aparatur pemerintah, baik lokal maupun pusat, dalam mengidentifikasi akar masalah kekerasan dan kemudian menemukan solusi kulturalnya di masyarakat itu sendiri.
Sejatinya, konflik dan kekerasan pada suatu masyarakat membutuhkan solusi yang mana solusinya ada pada budaya masyarakat itu sendiri. Idealnya, pengelolaan konflik dan kekerasan pada masyarakat tidak hanya mengandalkan aspek penegakan hukum yang cenderung zero-sum bahkan represif, melainkan menginstrumentasi pengelolaan secara kultural ini menjadi bagian dari mekanisme pengelolaan konflik oleh pemerintah, baik di daerah maupun di pusat.
Sesungguhnya budaya Melayu Sumatera dibangun diatas akar kerukunan. Berkelahi cara melayu tidak merusak. Menikam dengan pantun, menyanggah dengan senyum. Termasuk kontinum keislaman yang dibangun atas dasar toleransi dan cinta damai. Watak melayu menolak perrnusuhan, setia dan sabar tiada tandingan. Maka, rasa keadilan masyarakat terpenuhi, rekonsiliasi berjalan efektif, dan harmoni pun tercipta.