Home Kolom Pakar
Kamis,11 Desember 2014 | 14:25

MEMBANGUN MARITIM SUMATERA BERBASIS KEBUDAYAAN

Pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Unimal Aceh Ketua Development for Research and Empowerment - DeRE-Indonesia (Menjalankan Program Mingguan - Sekolah menulis dan kajian media (SMKM-Atjeh) dan Atjeh Analyst Club (A2C) + GERAKAN SOSIAL BARU +
MEMBANGUN MARITIM SUMATERA BERBASIS KEBUDAYAAN

Tulisan singkat ini terinspirasi setelah saya baca undangan, daftar narasumber, fasilitator, tema-tema materi, nama-nama peserta dan  Term of Reference (ToR) dari sahabat-sahabat pelaksana Mufakat Budaya Sumatera (MBS) yang berlangsung mulai tanggal 12 – 14 Desember 2014 di Hotel Oasis Kutaraja Banda Aceh. Pelaksanaan Mufakat Budaya Melayu Sumatera ini akan menjadi jalan untuk memperkuat gagasan dan gerakan kebudayaan Sumatera untuk nusantara, selain itu sebagai masukan menuju pelaksanaan World Cultural Forum (WCF) di Bali tahun 2015.

Program kegiatan seperti ini, mengingatkan saya bahwa suatu masyarakat manusia senantiasa menjalani proses dialektika yang panjang dalam upaya pembangunan dunianya. Dalam bahasa lain kita sebut enterprise of world building. Menggambarkan bahwa bagaimana hasil konstruksi pemikiran dan aktivitas manusia begitulah dunia maritim terbangun. Dalam bahasa Peter L. Bergerdisebut sebagai proses dialektika melalui tahapan eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.

Ketika dunia yang dikonstruksikan atau dibangun tidak berbasis kepada kebudayaan, maka secara intern adalah rawan karena terancam oleh fakta kepentingan diri dan kebodohan. Kecenderungan individualistik, konsumtif dan kapitalis pasti membawa kehancuran pada manusia itu sendiri.Artinya ketika masyarakat manusia dalam mengejar identitas tanpa dilandasi basis kebudayaan yang positif maka pada saat yang sama akan kehilangan identitasnya sebagai manusia. Dalam hal ini, Pemerintahan baru Joko Widodo dan Jusuf Kalla memberikan harapan baru bagi perubahan pembangunan dalam segala bidang berbasiskan kebudayaan.

Komitmen pemerintah dalam pengelolaan nusantara focus perhatian pembangunan maritim, tentu saja hanya akan menjadi wacana belaka ketika tidak ditunjukkan dengan kebijakan dan program yang secara kuat dan sustainable yang mengarahkan kepada pembangunan maritim berbasis kebudayaan atau perubahan  kultural. 

Termasuk dalam membangun Sumatera, sebagai salah satu peradaban maritim terbesar di nusantara. Sebagai salah satu peradaban besar di Nusantara yang telah dikenal seluruh bangsa di Dunia sebagai kekuatan peradaban Asia-Afrika termasuk Eropa sejak awal abad masehi.  Sejarah peradaban Sumatera berbasis politik kemaritiman menjadi kiblat penting peradaban nusantara modern. Sebut saja, keberadaan sejarah Samudera Pasai, Perlak, Lamuri, Aceh, Sriwijaya, Melayu Deli, Siak, Pagaruyung, dan lain-lain.

Peradaban sejarah Maritim Sumatera sebagai politik Internasional utama melalui perdagangan, agama, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan sebagainya yang mempersamakan seluruh kebudayaan politik Sumatera saat itu. Maka penting untuk mengkaji, mentafsir dan mengkonstruksikan kembali perubahan Sumatera di milenium ketiga ini dalam pemerintahan baru Indonesia.

Apalagi sampai saat ini, dalam politik pembangunan nasional, Sumatera masih dianggap sebagai represetasi wilayah Barat yang beruntung dalam pembangunan nasional. Namun realitasnya pembangunan Sumatera tertinggal jika dibandingkan era kolonial. Mulai dari jalur transportasi Sumatera yang semakin tersendat dan rusak. Bahkan jalan, dermaga, jalur kereta api dan lain-lain yang ada saat ini kebanyakan adalah program yang ada di masa kolonial Belanda dan Inggris, termasuk kekuatan kebudayaan pertanian dan perkebunan seperti lada, kopi, padi, cokelat, nilam, pala saat ini semakin melemah pengembanganya.

Juga situs sejarah dan cagar budaya bukti peradaban tua, baik di era neolitikum hingga era kolonial, yang telah hilang berganti dengan infrastruktur baru tanpa ingatan historis-kulturalnya. Sumatera mengalami kulturasida atau pembunuhan kebudayaan akibat hilangnya situs budaya dan sejarah tersebut. Kesenian dan etnomusikologis, Sumatera yang dahulunya dianggap pelita Melayu kalah dan lemah bersaing dengan Melayu periferal yang dijalankan oleh Malaysia dan Brunei Darussalam.

Semakin memprihatikan ketika konteks kebudayaan pun mengalami pereduksian maksimal saat dirumuskan ke dalam rancangan undang-undang kebudayaan yang sedang diibahas oleh pemerintah (legeslatif dan eksekutif), walau telah mengalami penolakan yang keras di kalangan masyarakat adat, pegiat kesenian dan kebudayaan lokal, termasuk juga nasib pengembangan sub-sub kebudayaan Sumatera dalam konteks pergaulan yang lebih luas.

Masalah mendasar saat ini, yang tidak bisa dilepaskan dalam setiap proses pembangunan adalah maraknya terjadi budaya kekerasan dan kekerasan budaya, termasuk di sumatera. Tentu dengan motif, bentuk, sifat, dan aktor yang beragam. Salahsatu pemicunya adalah warisan manajemen konflik masa lalu yang menggunakan pendekatan represif. Masyarakat manusia terlalu lama  berada  pada posisi yang lemah dan kalah yang terus dipelihara agar sama sekali tidak berdaya dan terus terkalahkan.  Situsasi dan kondisi pseudo-neurotik yang menyebabkannya terpasung dan tertekan secara sosiocultural bahkan tekanan psikologis.

Membudayanya penerapan budaya monolog, komunikasi top down atau komunikasai gaya totaliterisme, kekerasan simbolik, politik tanpa etika, mobilisasi massa yang beringas, media kekerasan, kekerasan media, ingin menang sendiri, penganiyaan, teror, intimidasi, bahkan pada taraf membunuh dan lain-lain sudah menjadi ciri khas nusantara, yang tidak saja meneror hati nurani, tetapi juga semakin mendorong pada batas krusial antara zona kehidupan dan kematian peradaban. Bahkan sampai pada tarafkrisis keteladanan yang sudah lama dirasakan, tidak banyak sosok dan pribadi yang patut menjadi refrensi moral, budaya dan keteladanan yang patut ditiru. 

Ditambah lagi, media massa dominan berada dalam genggaman hegemoni-monopoli kekuasaan yang dapat menjadi semacam “tirani terselubung”. Karena eksploitasi pikiran yang dimanipulasi lewat media lambat-laun akan menjelma menjadi sebuah sistem kebudayaan totaliter yang mengendalikan pikiran yang menyuburkan berbagai kekerasan  dalam daratan kognitif, spikologis bahkan perilaku. 

Maka menjadi sangat penting adanya Interaksi antar blok, komunitas, publik secara kontinu khususnya di Sumatera  yang akan menjadi pemenang untuk mampu mendesakkan tuntutan yang spesifik dan kuat secara moral budaya. Interaksi sosial budaya dengan berbagai masyarakat budaya di Sumatera untuk melakukan proses penguatan ke arah tersedianya landasan budaya dan identitas. Tentu hal ini, membutuhkan komitmen bersama, mulai dari gerakan kebudayaan, pemerintah, masyarakat, tokoh agama, kaum muda, LSM, akademisi, serta elemennya.

Untuk kemudian melakukan kerja-kerja nyata dalam proses pembangunan maritim yang berbasis kebudayaan. Mahatma Gandhi memperingatkan bahwa dosa fatal ketika pembangunan termasuk pendidikan tanpa basis kebudayaa dan karakter. Theodore Roosevelt juga menyebutkan; mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat. Bahkan pembangunan berbasis kebudayaan yang menghasilkan manusia bermoral dan berkarakter telah lama didengung-dengungkan oleh Ki Hajar Dewantara, pembangunan termasuk pendidikan yang berpilar kepada Cipta, Rasa dan Karsa.

Kahlil Gibran dalam salah satu bukunya, menggungkapkan kekecewaan peradaban kemanusiaan, aku mencari kesunyian, pengasingan dan kesendirian karena aku benci akan istana yang besar dan hebat yang disebut peradaban, karena bangunan dan arsitakturnya yang bagus dan berdiri tegak diatas bukit tengkorak manusia”. Memang begitulah noda hitam dalam sejarah kemanusiaan terus berlalu dengan alasan kemanusiaan pula, tidak mudah dihapuskan. Memang dewasa ini, yang paling berbahaya adalah perilaku merusak atau destruktif manusia itu sendiri.

Untuk itu, pembangunan apapun yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, termasuk pembangunan bidang maritim diharapkan berbasis pada manusia, dengan pengutaan kebudayaan. Semoga..

Dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Unimal Aceh

Ketua Development for Research and Empowerment - DeRE-Indonesia

Email: kamaruddinkuya76@gmail.com HP. 0813 9502 9273, www. dereindonesia.com

Isi Artikel dan Foto yang diunggah menjadi tanggungjawab SIPer
Komentar
Nama
Masukkan Kode verifikasi :