Home Humaniora
Rabu,02 Juli 2014 | 22:29

Mampukah Negara Bangsa Bangkit; Ketika?

Pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Unimal Aceh Ketua Development for Research and Empowerment - DeRE-Indonesia (Menjalankan Program Mingguan - Sekolah menulis dan kajian media (SMKM-Atjeh) dan Atjeh Analyst Club (A2C) + GERAKAN SOSIAL BARU +
Mampukah Negara Bangsa Bangkit; Ketika?

me

Sebagai manusia tentu makhluk penilai, karena manusia dikaruniai oleh Tuhan dengan kemampuan berfikir dan bertanya. Dengan kemampuan berpikir dan bertanya manusia tahu diri, tahu lingkungannya, tahu mana yang benar dan mana yang salah, tahu bangsanya dan negaranya, tahu identitasnya.

Tanpa berpikir dan bertanya bukan manusia namanya. Dengan daya fikirnya dan pertanyaan manusia mampu mengadakan penilaian terhadap segala hal ihwal atau perkara yang dialaminya. Sekali lagi manusia sebagai khalifah dimuka bumi dibekali keinginan, kebutuhan, cita-cita, nilai-nilai yang dimuliakan, serta akal, budi dan daya fikir, nalar serta daya lainnya.

Tahun 2014 ini manusia yang tergabung dalam bangsa negara dituntut untuk berpikir keras untuk menjawab pertanyaan berat sebagai tantangan yang dihadapi Negara bangsa. Hampir semua wacana kebangkitan bangsa negara ditabuhkan, harapan besar digantungkan menghiasi obrolan warung kopi, media massa, seminar-seminar dan lain-lain, bahwa tahun 2014 bangsa negara mesti bangkit dari keterpurukan, bangkit dari krisis multidimensi, bangkit dari krisis kepemimpinan, bangkit dari runtuhnya nilai-nilai agama, moral, adat-istiadat, budaya, runtuhnya identitas, runtuhnya harga diri di hadapan bangsa Negara lain dan sebagainya.

Pantas atau tidak pantas, harapan besar sebagian rakyat masih menggantungkan dan digantungkan pada pemimpin baru negeri ini, DPR baru, presiden baru pasca pilpres juli 2014, momentum Harkitnas (terlepas dari pro dan kotra sejarah Harkitnas tersebut). Pertanyaan mendasar adalah memulai dari mana bangsa negara ini bangkit?

Pertanyaan ini menjadi sangat sulit dijawab, ketika dihadapkan dengan realitas kekinian kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja KETIKA.. Ketika cakrawala bumi pertiwi dalam keadaan rubuh tersungkur, ketika kesulitan hidup yang semakin melilit kehidupan rakyat, ketika kemiskinan menjadi sahabat yang sangat setia dengan angkatnyapun terus meningkat, ketika pengangguran menjadi irama kehidupan keseharian juga angkanya terus melambung, ketika keputus-asaan menjadi nada yang kian merusak gendang pendengaran, ketika himpitan kemelaratan menjadi pasrah sebagai nasib yang wajib diterima tanpa kekuatan untuk merubahnya.

Ketika Negara mencetak bangsa menjadi pengemis, walau jiwa menangis ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa tertancap dalam dan sangat membekas dalam hati. Ketika harapan menjadi pupus dan terhapus dari memori sebagian rakyat yang muncul adalah sikap apatisme, skeptisme dan fesimisme. ketika pesta korupsi berlansung meruyak negeri membuat bangsa sekarat disemua segi, ketika koalisi partai politik nihil rakyat, nihil ideologis kebangsaan, nihil sejarah sebagai cermin.

ketika hobby mengmark-up anggaran Negara-uang rakyat sudah menjadi-jadi, ketika langit-langit akhlak rubuh yang merambah sampai kedunia pendidikan yang semestinya menjadi contoh penarapan ahklak mulia. Ketika praktek bisnis negara bangsa juga sunyi akhlak dengan proyek-proyek habis dikunyah segelintir keluarga dan mereka kenyangnya terengah-engah diatas jutaan rakyat yang busung lapar. Ketika negara tidak peduli, membiarkan hutan-hutan digunduli, hutan lindung dibabat, lahan pertanian yang tidak terurus dan sawah-sawah kering, berubah fungsi, satwa liar yang tidak memiliki tempat tinggal yang nyaman, kegiatan pertambangan merusak lingkungan hidup.

Syair Taufiq Ismail berjudul Malu Aku Jadi Orang Indonesia, sepertinya sangat relevan dengan kondisi Negara bangsa saat ini. Pantas kita tambah kata “Ketika” lagi. Ketika jutaan mulut yang menganga, ketika negara dengan sengaja mencetak bangsa pengemis, ketika negara melahirkan generasi yang sangat kurang rasa percaya diri, ketika negara meminjam uang ke mancanegara dan rakyat yag harus menanggung beban derita berkepanjangan.

Walau sudah satu keturunan jangka waktunya, walau hutang selalu dibayar tentu dengan hutang baru pula, lubang itu digali, lubang itu pula ditimbuni dan sampai lubang itu semakin membesar dan semakin membesar. Ketika negara memaksa budaya berhutang, ketika bangsa negara terbungkuk berikan kepala kepada negara multi-kolonialis, maka dengan elegansi ekonomi mereka ramai-ramai pesta kenduri sambil kepala kita dimakan.

Ketika dicengkeram kuku negara multi-kolonialis, beratus juta rakyat menggelepar menggelinjang, terperangkap, terjaring di jala raksasa hutang. Sisi lain, ketika pedagang kecil mati dengan meninggalkan hutang, ketika rakyat mati tinggal belulang. Ketika rakyat miskin selalu minum mimpi, makan angan-angan dan berlansung sudah sangat lama. Sudut lain kita melihat, ketika segelintir orang dinegara ini teramat kaya, hingga orang-oranga di negeri-negeri yang jauh disana, dengan gaya hidup boros berasaskan gengsi dan fanatisme mengimpor barang luar negeri, gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis. Ketika segelintir orang dinegera ini, dengan ringan bisa makan harga satu porsi setara untuk mengisi perut kosong 100 orang miskin.

Ketika tidak ada lagi yang menjahit sakit politik, hukum, ekonomi sosial budaya dengan sengenap kemampuan. Ketika negara hasil karya ini tidak lagi menjadi pranata sebagai prestasi peradaban manusia untuk tujuan-tujuan fitrahnya. Ketika Negara tidak lagi diselenggarakan dengan nilai-nilai ketuhanan, keadilan, peradaban, kebersamaan dan azas kedaulatan rakyat.

Ketika manusia sebagai yang menghidupkan dan menjalankan negara tidak memahami akan hakikat dirinya, tidak dipahami dengan benar dan baik bahwa nusantara dihuni oleh manusia-manusia yang berlatar belakang etnik, agama, suku, dan bangsa yang beragam. Ketika yang dipercaya menjalankan negara meninggalkan jati diri bangsa negaranya, meninggalkan identitas bangsa negaranya, meninggalkan akar budaya yang mendasari identitas tersebut. Ketika Negara hanya mampu mendefinisikan keindonesiaan lewat kacamata Jakarta dan pulau Jawa.

Ketika negara tidak mampu melihat rakyat yang tersisih yang tidak tersentuh pembangunan dan perberadaban. Ketika negara masih berprilaku membantai rakyatnya, intimidasi, pengusiran, pengasingan, intoleransi dan ketidakadilan. Ketika Negara tidak mampu masuk kedalam ranah kognitif rakyat. Ketika Negara tidak mampu melihat anak-anak negeri yang kurus ringkih, busung lapar, pandangan mata yang kosong, tanpa keinginan dan harapan, anak-anak yang tidak tercatat di sekolah manapun.

Ketika negara masih terjebak dalam tarikan kepentingan politik elite, kepentingan pemodal, terseret dalam cengkraman kapitalisme domestik, global, terbawa arus budaya komersialisme dan konsumerisme. Ketika Negara masih bertanya siapa itu rakyat? di mana alamatnya, bagaimana potret nafkahnya, bagaimana kesehatannya dan pendidikannya, bagaimana populasinya, ketika negara tanpa database rakyatnya.

Ketika Negara masih melihat rakyat sebagai kumpulan orang-orang dengan wajah lugu wajah, gampang dibodohi, gampang dibariskan, mudah dicatat sebagai sederetan angka, gampang dimusnahkan, menerima saja dihujani sejuta kata-kata dengan perangai tidak banyak tingkahnya. Ketika Negara masih memperlakukan rakyatnya seperti di Aceh, papua dan tak terhitung didaerah lain dianiaya bertahun-tahun, berkali-kali, ramai-ramai dibunuh dan dihabisi, ketika usai dibantai janda-janda disakiti tidak bisa melawan, Ketika kampung/gampong/desa, sekolah, rumah ibadah dll dibakari.

Ketika anak Panah dan Rencong mustahil menandingi senjata api. Tetapi ingat, ketika harga diri, identitas, hati, jiwa tersakiti Negara akan menangung beban besar, terkuras energi, segenap kemampuan tetap susah mengobatinya walau waktu berpuluh bahkan ratusan tahun.

Taufiq Ismail dalam syairnya, kurang lebih seperti ini; Ketika setiap menyanyikan lagu Padamu Negeri, tiba pada dua baris terakhir, sekali jiwa raga cuma pada Tuhan diberi bukan kepada negeri, jiwa raga kepada pemberi kehidupan awal, dia akan kembali bukan kepada negeri, sesudah itu terserah Dia sendiri apa akan dibagikanNya juga pada negeri.

Bagaimana kita bicara negara bangsa ini bangkit, kalau melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, hanya retorika dan slogan belaka tanpa upaya sungguh-sungguh, dengan ihklas, dengan segenap jiwa raga mewujudkan cita-cita Negara bangsa dalam pembukaan undang-undang Dasar tersebut.

Sama juga dengan kata-kata; meningkatkan kesadaran berbangsa, menguatkan jati diri dan menyatukan potensi bangsa, bergerak menuju bangsa maju di dunia. Menumbuhkan, meningkatkan kesadaran, semangat juang. Memperkuat kepribadian bangsa, memperkokoh nilai-nilai budaya bangsa, mempertebal rasa harga diri dan kebanggan Negara, mewujudkan Indonesia yang damai, adil, demokratis, dan sejahtera.

Cita-cita, harapan yang tanpa dimulai dengan proses yang benar dan baik. Bukankan sesuatu kalau dimulai dengan proses yang baik dan benar hasilnya kemungkinan besar akan baik dan benar. Bisa dibayangkan kalau prosesnya saja sudah tidak baik dan benar. Masih terlalu banyak KETIKA yang bersifat negatif di negari ini; sehingga diperlukan dan sangat dibutuhkan barisan manusia-manusia yang pantang menyerah, tegar dalam sikap sempurna, tegar kokoh dalam prinsip, kokoh dalam agama, dengan pengorban yang tinggi bukan hanya untuk mengukir namanya namun ihklas untuk bangsa Negara.

Manusia dengan tingkat kesadaran yang tinggi - kosmis dalam membangun negara bangsa ini. Manusia yang mampu secara ilmu agama dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta teknologi. Manusia yang memiliki karakter dan mampu menjadi teladan. Manusia yang tidak mementingkan diri sendiri, tidak mengumbar egonya, tidak menginjak-injak orang lemah, tidak besar mulut yang isinya hanya slogan dan retorika. Manusia yang tidak menambah kata KETIKA yang negatif tentang negara bangsa ini.

Manusia yang mampu hidup selaras serta menyatu dengan alam semesta. Manusia yang menjiwai makna kehidupan di dunia hanya singkat dan sementara karena itu tidak tergoda baik oleh kemewahan materi maupun kenikmatan sekejap. Manusia yang tidak butuh pencitraan berlebihan di layarkaca.

Manusia yang kebahagiaannya ada dalam dirinya yang bersahaja walaupun dia di tengah hiruk-pikuk sandiwara orang-orang yang narsis dan tamak. Manusia yang kemanapun menoleh, disentuh, memimpin, mampu merasakan kehadiran penciptanya. Manusia yang senantiasa berlomba untuk menjadi yang terbaik, manusia yang paling berguna bagi orang banyak. Semoga saja masih ada dinegeri ini Tulisan ini pernah dimuat di harian Cenderawasihpos

Isi Artikel dan Foto yang diunggah menjadi tanggungjawab SIPer
Komentar
Nama
Masukkan Kode verifikasi :