Teror pun Turun di Jakarta
Teuku Kemal Fasya ; Anggota
Dewan Pakar NU Aceh
|
SATU HARAPAN, 25
Januari 2016
Pagi itu, 14 Januari
2015, saya sedang asik menonton kesaksian Jusuf Kalla pada sidang korupsi
Jero Wacik di Pengadilan Tipikor Jakarta, berita tiba-tiba beralih ke breaking news bom bunuh diri di
kawasan Sarinah Jl. MH Thamrin, Jakarta. Berita pemboman dan penembakan itu
dengan cepat menyebar melalui siaran televisi, berita online, dan media
sosial facebook, twitter, whatsapp, dan BBM.
Di antara yang
tersebar ada fakta dan persepsi, tapi ada juga berita palsu (hoax). Di antara “berita fitnah” yaitu
teror juga terjadi di beberapa daerah di Jakarta seperti Palmerah, Slipi,
Cikini, dan Mall Alam Sutera. Atas dasar ini beberapa pengamat langsung
membuat kesimpulan instan teror ini replika Paris II, 13 November 2015.
Hoax lain yaitu ini bagian dari konspirasi Amerika. Indikasinya
ialah surat peringatan Kedutaan Besar Amerika Serikat kepada warga mereka
untuk tidak mendekati daerah Sarinah dan Hotel Sari Pan Pacifik. Ternyata
surat itu telah diedit waktu rilisnya. Amerika memang bukan negara lugu dan
normatif terkait teror demi melihat keterkaitan mereka pada kasus Irak,
Mesir, Afganistan, Pakistan, Libya, dan Suriah. Namun saya merasa mereka
tidak sebodoh itu melibatkan diri apalagi melalui sepotong “emergency message” yang bocor ke
publik.
Sepanjang drama yang
kurang dramatis itu – karena secara jumlah korban meninggal kalah jauh
dibanding Paris, Istanbul, Baghdad, apalagi Damaskus : “hanya” tujuh orang
dan sebagian besar malah terduga teroris – bahwa dalangnya adalah kelompok
teroris Poso Santoso. Belum berhenti di situ, kesimpulan meloncat bahwa yang
bertanggung-jawab adalah jaringan ISIS Asia Tenggara dibawah Muhammad Bachrum
Na’im, seperti pers rilis Kapolda Metro Jaya Irjen Tito Karnavian.
Kesimpulan seperti
itu memang gampang diterima karena menyasar kelompok jihadis yang sudah
terkenal. Kita tidak keberatan jika itu didukung dengan bukti dan bukan
sekedar spekulasi. Namun saya ingin mengajak untuk melihat sisi lain, bahwa
kejadian ini bisa sama sekali tidak berhubungan dengan agama, sesuatu yang
lebih “sekular” yaitu desain politik-ekonomi nasional-global.
Kenapa tidak ada yang
mencoba menghubungkan kasus teror ini dengan tenggat bagi Freeport Indonesia
untuk menawarkan divestasi yang jumlahnya mencapai Rp. 23 triliun? Kompas
sendiri sudah membuat pemberitaan itu pada edisi 4 Desember 2015. Ingat
Freeport kerap dihubungkan dengan bola politik panas nasional terutama
perpanjangan kontrak mereka. Kasus Mahkamah Kehormatan Dewan dan favoritisme
Amerika atas masalah Papua ternyata berhubungan erat dengan Freeport.
Atau kenapa tidak
melihat kasus ini berhubungan dengan kasus lain, seperti ditolaknya RUU
Keamanan Nasional oleh elemen masyarakat sipil untuk kembali dibahas. RUU
Kamnas adalah blunder lama, dimunculkan sejak 2012 tapi terus gagal karena
dianggap akan mengembalikan ketakutan pengelolaan negara ala Orde Baru yang
mengancam demokrasi. Kebetulan Koran Tempo membantu publik mengingatnya
melalui pemberitaan 13 Januari. Tragedi ini bisa saja menjadi menjadi pasport
untuk memuluskan RUU Kamnas.
Seperti umumnya
kasus teror, pelaku dan korban kadang bukan pesan sesungguhnya. Ada pesan
yang lebih luas yang akan terbaca melalui pembentukan opini berhari-hari
setelah itu. Media bisa menjadi ruang komunikasi antar-aktor untuk merancang
“teror baru” yang daya rusaknya lebih besar dari teror terlihat. Secara faktual kita
bisa melihat bagaimana kasus WTC 9/11 adalah pesan untuk menginvasi
Afganistan dan Irak. Demikian pula kehadiran ISIS sendiri diakui oleh
pemimpin Amerika seperti Hillary Clinton sebagai agenda menjatuhkan rejim
Bashar al-Asad. Seperti itulah sejatinya tubuh politik teror bergerak.
Atau coba perhatikan
bagaimana kasus Gafatar muncul dan menjadi kehebohan hingga kegawatan
nasional dalam hitungan hari. Hilangnya dokter Rica di Yogyakarta, dan
kemudian pemberitaan tentang semua orang hilang dihubungkan dengan organisasi
yang katanya inkarnasi dari Milata Abraham itu. Bahkan jika dirunut,
organisasi sosial itu masih memiliki akar historis dengan Negara Islam Indonesia
(NII), meskipun berbeda 180 derajat secara ideologis. Para menteri ikut
merespons secara dramatis dan hampir semua koran nasional mengangkat isu
Gafatar sebagai headlines 14 Januari: hari teror Sarinah. Awalnya saya
berpikir Gafatar akan menjadi kambing hitam atas tragedi ini, tapi rupanya
ada yang lebih “empuk” untuk dijadikan sasaran.
Pesan yang ingin
disampaikan adalah, kasus Sarinah jangan sampai menghilangkan kemanusiaan
kita, egois, dan menjadi penuduh, termasuk menuduh representasi agama
tertentu seperti Islam, sebagai penyubur terorisme. Bahkan sesungguhnya
kehadiran kelompok-kelompok radikal pun tidak selalu berhubungan dengan
jaringan terorisme.
Dalam hal ini dunia
memang sedang tidak adil dalam membangun hubungan antar-agama. Dialog
antar-pemeluk agama untuk mewujudkan perdamaian di antara agama-agama,
seperti tesis Hans Kng, teolog Jerman, semakin kurang mendapatkan ruang
segar. Bukan karena forum dialog lintas-iman sepi, tapi efek kebijakan
struktural dan sikap intoleran masih tumbuh di ruang sosial dan politik kita.
Kita bisa lihat pada kasus sekulerisme keras Perancis. Beberapa hal fenomena
itu ikut merepresi kelompok minoritas muslim yang kebetulan kurang beruntung
secara politik dan ekonomi. Pelaku teror Paris I (7 Januari 2015), bukanlah
muslim saleh. Mereka hanya pekerja kasar yang memiliki gaya hidup liar.
Kondisi kemiskinan ditambah perasaan didiskriminasi melahirkan persepsi
ditindas oleh penduduk asli Perancis yang “kafir”. Sikap itu bertemu dengan
“ketidaksadaran” warga “tuan rumah” yang memperlakukan warga “muslim imigran”
menurut selera sekulerisme satu arah atas nama la
liberté.
Itulah fiksasi yang
ditimbulkan oleh buntunya nalar sosial. Kita melihat bahwa sekuleralisme Perancis bukan lagi
sebuah fenomena sosial tapi menjadi ancaman sosial. Tak kurang Paus
Fransiskus ikut mengkritik majalah Charlie Hebdokarena menyakiti hati umat
Islam atas nama kebebasan.
Demikian pula sikap
pendeta Florida, Terry Jones, dari Dove
World Outreach Centre (Pusat
Menggapai Perdamaian Dunia) yang berencana membakar 2.998 buah Al Quran
pada peringatan 12 tahun WTC 9/11 tidak bisa dianggap mewakili sikap
gereja-gereja di Amerika. Seorang pendeta progresif, Deborah C. Lindsay dari
Gereja First Community, Ohio mencibir tindakan Terry Jones tidak bermoral dan
sakit jiwa. Dalam khutbahnya Lindsay menganggap sikap itu mewakili
Islamofobia yang kuyu dan jauh dari pesan Kristiani. “Tidak ada pesan Yesus dan Injil yang mengatakan boleh membakar kitab
suci agama lain. Itu sama sekali bukan pesan damai, bukan sikap memahami dan
menjembatani, melainkan sikap gila”.
Kita suka mengambil
kesimpulan berdasarkan baju representasi karena itu paling mudah, tapi
sayangnya tidak tepat. Memang di setiap agama selalu ada kelompok ekstrem-radikal,
yang salah memahami pesan agama otentik untuk menghargai iman orang lain. Namun mereka tidak
bisa dianggap sama dengan arus utama umat yang menyukai perdamaian dan
penghargaan agama-agama lain.
Anggap saja teror
yang kini turun ke Jakarta tidak mewakili umat atau kelompok arus utama mana
pun, tapi sikap orang sakit jiwa atau sosiopat yang agendanya tak lebih besar
dari kebencian, kemarahan, dan ketakutannya sendiri. Mereka orang gagal
melihat dunia kehidupan. Jika ini menjadi agenda politik, nistalah mereka karena menggunakan
cara-cara kotor mengorbankan orang-orang tidak bersalah. Orang-orang yang
tidak mengharapkan keluar rumah di pagi hari hanya untuk diledakkan di tengah
jalan. ●
|