Ilustrasi: trinbagoviews.com
NEGARA VERSUS KEDAULATAN RAKYAT
(Refleksi Pasca Pilpres 2014 dan kontroversi UU Pilkada)
Kamaruddin Hasan
Negara sebagai sebuah organisasi besar yang dilahirkan, dihidupkan, dijalankan dan dikawal oleh seluruh rakyat nusantara yang kita berinama Indonesia. Negara sebagai hasil karya besar yang fundamental dari rakyat nusantara. Negara menjadi pranata prestasi peradaban rakyat nusantara untuk tujuan fitrah yaitu kebahagiaan dunia akhirat sebagai manisfestasi kedaulatan.
Negara sebagai pranata dari hasil proses integrasi secara holistik yang berkesinambungan dari berbagai unsur; institusi, lembaga, konvensi, adat, tradisi, norma-norma, budaya, interaksi dan lain-lain. Sejak awal lahirnya negara ini, sudah disepakati untuk dijalankan dan diselenggarakan dengan nilai-nilai ketuhanan, keadilan, peradaban, kebersamaan dan tentu diatas kedaulatan rakyat nusantara. Negara yang memiliki fungsi; melindungi segenap yang hidup didalamnya, mensejahterakan dan menghargai yang melahirkan dan menghidupkannya. Bahkan secara totalitas sustainable negara mesti mencerdaskan, memajukan demokrasi yang sudah dirintis dengan susah payah. Bukan malah menuju kemunduran dalam segala aspek termasuk demokrasi.
Negara yang diberi nama Indonesia ini, dihuni oleh manusia-manusia yang melahirkannya dari berbagai latar belakang budaya, etnik, agama, pulau, suku dan bangsa yang beragam tersebar dari Sabang sampai Merauke, kemudian kita menyebutnya Negara Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam menjalankan negara, rakyat nusantara memberi amanah, mandat atau mempercayai kepada manusia-manusia pilihan. Rakyat menyerahkan kedaulatannya kepada manusia-manusia pilihan yang dianggap mampu menjalankan tujuan dan fungsi organisasi besar Negara yang bernama Indonesia. Manusia-manusia pilihan tersebutlah yang menjalankan Negara sesuai dengan amanah, aturan, kepercayaan dari rakyat nusantara dalam iklim penuh demokrasi.
Namun menjadi aneh, ketika manusia-manusia pilihan tersebut dalam menjalankan negara ini tidak memahami betul amanah, harapan, kepercayaan, jati diri, identitas, budaya, manusia dan bangsanya. Sehingga wajar, memunculkan image negative, kekecewaan mendalam, bahwa negara alpa kepada yang melahirkan, menghadirkan dan menghidupannya. Walau pada dasarnya bukan negara yang mesti disalahkan, tapi lebih kepada manusia-manusia pilihan yang mengemban kedaulatan rakyat, yang mengemban amanah, kepercayaan yang seharusnya bertangggungjawab setiap kebijakan yang dikeluarkan atas nama negara.
Wajar kemudian, rakyat nusantara menggantungkan harapan besar yang tidak henti-hentinya kepada negara dan tentu kepada manusia-manusia pilihan tersebut. Setiap proses pemilu, proses lahirnya aturan/UU baru dan sebagainya selalu semua harapan, wacana, kemajuan, kebangkitan negara ditabuhkan oleh rakyat. Harapan agar negara mampu bangkit dari keterpurukan, bangkit dari krisis multidimensi, bangkit dari krisis kepemimpinan/figur, bangkit dari terkikisnya nilai-nilai agama, etika/moral, adat-istiadat, budaya, bangkit dari merosotnya identitas, harga diri di hadapan rakyat sendiri mampun dihadapan negara lain. Sekali lagi sangat wajar harapan besar itu menggema, karena datang dari rakyat nusantara yang notabene adalah mereka yang melahirkan, menghadirkan, menghidupkan dan mengawal Negara ini. Rakyat nusantara pemilik seutuhnya negara ini.
Nah, ketika memahami secara baik dan benar, tentang Negara dan kedaulatan rakyat. Tentu dalam setiap proses kebijakan politik, sosial, ekonomi, hukum dan lain-lain dari negara, tentu kedaulatan rakyat berada diatas segalanya. Sehingga negara tidak akan kalah dengan kepentingan individu, golongan, kelompok dan atau partai politik. Atau Negara tidak akan kalah dengan “koalisi ini koalisi itu” yang hanya bersifat prakmatis sesaat. Negara tidak akan mengabaikan, “melacurkan” meminggirkan, bahkan menghilangkan atau menghapus kedaulatan rakyat. Sungguh disayangkan, rupanya Negara sampai saat selalu dalam situasi dan kondisi kalah dan terpinggirkan dari kepentingan golongan, kelompok, partai politik dan lain-lain.
Lihat saja, bagaimana realitas pertarungan politik lanjutan pasca Pilpres 2014, antara koalisasi Jokowi-JK dengan Koalisasi Merah Putih (KMP). Koalisi Jokowi-JK memenangkan Pilpres, sedangkan KMP bersikeras mengambil moment merubah UU Pilkada dari Pilkada lansung menjadi Tidak langsung. Polarisasi kekuatan, kepentingan kelompok, politik di DPR sangat mengganggu Negara dan iklim demokrasi sebagai kedaulatan rakyat, dan proses polarisasi ini mesti diakhiri. Dengan catatan, kalau kita sepakat bahwa Negara sebagai manisifestasi kedaulatan rakyat yang berada diatas kepentingan apapun.
Praktek ini lebih kepada praktek arogansi komunikasi politik yang nihil etika dan norma, nihil kenegaraan dan kedaulatan rakyat, manusia-manusia pilihan tersebut mulai lupa dengan rakyatnya, terkooptasi dengan dominasi dan hegemoni kepentingan kelompok dan partai politiknya. Kita menuju kemunduran demokrasi, kembali kepada gaya Orde Baru.
Padahal, Pemilu merupakan anak kandung demokrasi yang dijalankan sebagai perwujudan prinsip kedaulatan rakyat dalam realitas pemerintahan atau ketatanegaraan. Prinsip-prinsip dalam pemilu yang sesuai dengan konstitusi merupakan prinsip kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat atau demokrasi yang ditandai bahwa setiap rakyat nusantara berhak ikut aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan termasuk dalam memilih kepala daerah.
Proses politik negara mestinya menjadikan rakyat nusantara mendapat pendidikan politik secara benar dan baik, menjadikan rakyat nusantara peduli dengan partisipasi aktif dalam setiap proses politik, termasuk dalam Pemilukada. Tanpa partisipasi aktif rakyat dalam proses politik, dapat dipastikan proses politik tersebut gagal. Prinsip politik dalam negara bangsa yang demokratis adalah partisipasi aktif dari rakyatnya, kecuali Negara bangsa tersebut sudah tidak sepakat dengan demokrasi.
Proses politik dan pemilu pada prinsipnya merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemilu tidak lain merupakan intisari dari proses demokrasi. Pemilu merupakan mengejawantahkan hak-hak asasinya rakyat dalam bidang politik.
Untuk itu, solusi pertama, rakyat nusantara mesti menyelamatkan Negara dari polarisari hegemoni/dominasi kekuatan kelompok dan atau partai politik tertentu. Mendukung proses judicial review UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi, menjadi sangat penting dilakukan untuk menghindari merosotnya partisipasi politik Rakyat, menghindari kepala daerah kemungkinan besar hanya melayani permintaan DPRD bukan kepentingan rakyat, Pilkada model ini hanya menjadi kepentingan elite partai di DPRD. Bahkan Kepala daerah terpilih terpenjara oleh partai pengusung yang belum tentu sejalan dengan rakyat, politik uang juga akan lebih besar secara massif, kelompok-kelompok minoritas akan cenderung diskriminatif.
Solusi kedua, memperbaiki gaya komunikasi politik dihadapan rakyat, gaya komunikasi politik menjadi jendela untuk memahami bagaimana rakyat bahkan dunia memandang dirinya. Communication style yang dipraktekkan, sebagai seperangkat perilaku komunikasi yang terspesialisasi dalam suatu situasi dan kondisi Negara. Gaya komunikasi dengan The Equalitarium style dalam menjalan Negara konsep kesamaan dan kebersamaa dengan rakyat, yang bersifat dua arah atau two-way traffic of communication, menjadi penting. Praktek gaya komunikasi yang bersifat Controling Style; yang bersifat mengendalikan, memaksa dan mengatur perilaku, pikiran dan tanggapan rakyat yang bersifat satu arah atau one-way communicators, perlu dihindari.
Cukup sudah Negara melahirkan segelintir manusia atau keluarganya yang berupaya menciptakan kehidupan senikmat disurga di tengah berjuta-juta rakyat nusantara yang merana, melata ditengah-tengah kemelaratan yang mudah dianugrahkan ketidakadilan baginya. Negara ini mesti dijalankan dengan cara-cara kemanusiaan dan benar-benar menjadi Negara manusia. Negara yang tahu diri, Negara yang menghargai manusia-manusia yang melahirkannya, yang menghadirkan dan yang menghidupannya.