Home Kolom Pakar
Rabu,16 Juli 2014 | 02:22

IDEOLOGISME KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN (Harapan pasca Pilpres 2014)

Pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Unimal Aceh Ketua Development for Research and Empowerment - DeRE-Indonesia (Menjalankan Program Mingguan - Sekolah menulis dan kajian media (SMKM-Atjeh) dan Atjeh Analyst Club (A2C) + GERAKAN SOSIAL BARU +
IDEOLOGISME KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN  (Harapan pasca Pilpres 2014)

kuya

Tulisan ini berawal dari hipotesis subyektif, yang memang masih diperlukan penelitian secara mendalam dengan berbagai metodelogi baik kuantitatif maupun kualitatif dengan paradigmanya masing-masing. Bahwa proses politik dalam pemilu baik pileg mapun pilpres 2014 kemarin masih sarat didominasi oleh praktek-praktek, sikap, sifat dan pola-pola praktisme yang mengarah hedonism dan kapitalisme.

Sebelum pileg dan pilpres, pernah saya tulis tentang koalisi ideologi vs prakmatisme jelang pilpres 2014. Saat itu memang lagi hangat-hangatnya wacana koalisi partai dalam proses pilpres. Intinya adalah rakyat sudah menunaikan kewajibanya dan itu perlu mendapat apresiasi positif dari semua kalangan, terutama negara dan para pihak penyelenggara pemilu. Terlepas dari masih banyaknya angka Golput dalam Pileg 2014 lalu, rakyat mesti dihargai. Walau kemudian masih muncul pertanyaan kemana rakyat mesti mengadu masalah hidup setelah Pemilu 9 April 2014 lalu, tentu jawaban tetap sama, sama saja seperti yang dulu, boleh disebut harapan perubahan yang berarti masih digantungkan oleh rakyat pada wakil-wakilnya. Namun saya menyarankan, jangan menggantungkan harapan terlalu besar, dikhawatirkan akan menimbulkan kekecewaan yang besar pula nantinya. Gantungkan harapan perubahan kearah yang lebih baik sewajarnya saja. Selain itu, masih banyaknya kelemahan dan kekurangan dalam proses pileg kemarin semestinya menjadi pembelajaran bagi proses pelaksanaan pilpres. Misalnya dalam proses penetapan hasil pleno pileg secara nasional oleh KPU pusat ditetapkan pada tanggal 9 Mei 2014, yang mestinya 6 Mei 2014 sesuai aturan KPU No. 6 tahun 2013 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilu Legislatif. Keterlambatan ini juga mengurangi tingkat kepercayaan rakyat terhadap proses pemilu di negara ini yang memang dari awalnya sudah minim kepercayaan. Padahal tingkat kepercayaan dan keterlibatan aktif rakyat dalam proses pemilu sebagai salah indikator kualitas dan kuantitas demokrasi di nusantara ini.

Kemudian rakyatpun harus kembali menjadi ‘alat dan angkat-angka’ untuk memilih presiden 9 Juli 2014 kemarin, walau sebagian besar rakyat saat itu masih belum begitu mengenal dengan baik semua calon-calon presiden mereka, hanya melalui proses pencitraan dan retorika oleh media massa yang mereka pahami selebihnya tentu melalui proses komunikasi atau interaksi secara lansung dalam masyarakat. Rakyat kembali mengikuti proses pilpres 2014, sepertinya memang tidak ada ruang ‘istirahat’ sejenak bagi rakyat nusantara untuk sekedar tidak terlibat dalam proses politik, begitu dekatnya waktu dan dengan berbagai dinamika politik yang tampak berlebihan.

Gonjang ganjing Pilpres 2014 dengan dinamikanya memenuhi cakrawala alam sadar dan bawah sadar rakyat nusantara. Adakalanya rakyat mulai jenuh dan bosan mendengar, melihat, membaca dan membicarakan dinamika pilpres, tapi apa hendak dikata agenda setting media massa rupanya lebih kuat men-setting agenda pembicaraan rakyat, mulai dari diskusi informal warungkopi sampai ke ruang-ruang seminar dalam ranah formal. Realitas tersebutpun kemudian disokong kembali oleh media massa, secara terus menerus memenuhi ruang publik rakyat.

Mulai dari awal wacana koalisi proses pilpres oleh partai politik sudah terlihat pola prakmatisme yang bersifat sesaat, bersifat administratif untuk memenuhi syarat minimal 25 persen suara nasional atau 20 persen perolehan kursi DPR. Yang terjadi tarik ulur kepentingan, bargaining tawaran posisi-posisi kekuasaan, bahkan terkesan transaksional tanpa dilandasi ideologi kebangsaan dengan kesamaan visi berbangsa dan bernegara. Prakmatisme yang hanya berbasis kebutuhan elektoral demi mengamankan kekuasaan. Kalau ini yang terjadi, bagi yang akan menang menjadi presiden dan wakil presiden tentu akan disibukkan dengan urusan menjaga relasi antara anggota koalisi untuk memenuhi libido anggota koalisi. Yang terjadi adalah koalisi sebatas bagi-bagi jatah menteri, bukan bentuk kesepahaman bersama dalam membangun negara bangsa.

Membangun Ideologi Kebangsaan dan Kenegaraan.

Dalam proses pilpres 2014 ini, mestinya kita belajar dari sejarah, bahwa kalau hanya pola pragmatis yang dikedepankan negara ini tidak akan pernah maju dalam peradabannya. Proses prakmatisme semacam itu telah memberikan efek kurang efektif bahkan tidak produktif dalam membangunan, menumbuhkan rasa nasionalisme dalam berbangsa dan bernegara. rnIdeologis kebangsaan, mesti didasarkan pada tujuan hidup dalam berbangsa - bernegara. Tujuan dan hakikat Negara ini dihadirkan, dihidupkan dan dijalankan. Demi memperbesar daya manusia untuk lebih mampu mewujudkan segenap keinginan, kebutuhan dan cita-cita, maka dihadirkan, dibangun negara sebagai tempat atau wahana untuk bekarya sekaligus tempat tinggal berdiam yang semestinya tenteram menikmati jerih karya upaya tersebut, bukan sebalik. Tentu dengan syarat tidak melupakan hakikat manusia sebagai khalifah dimuka bumi yang dibekali keinginan, kebutuhan, cita-cita, nilai-nilai yang dimuliakan, serta akal, budi dan daya untuk mewujudkan semua itu.

Negara hasil karya kita ini semestinya menjadi pranata sebagai prestasi peradaban manusia untuk tujuan-tujuan fitrahnya, yang diselenggarakan dengan nilai-nilai ketuhanan, keadilan, peradaban, kebersamaan yang kemudian mengkristalkan kesadaran mengenai mutlaknya azas kedaulatan rakyat. Sekali lagi, negara merupakan organisasi manusia yang dibentuk yang menjalankan dan menghidupkannya pun adalah manusia itu sendiri. Karena manusia sebagai pusat yang melahirkan, menjalankan dan menghidupkan negara, maka manusianya yang harus paham akan hakikat dirinya, sehingga tidak salah dalam menjalankan negara sebagai amanah.Nusantara ini merupakan kepulauan besar di tengah persilangan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, dan dihuni oleh manusia-manusia yang berlatar belakang etnik, agama, suku, dan bangsa yang beragam mampu merekonstruksi identitasnya sebagai sebuah negara-bangsa.

Pemahaman secara baik dan benar mengenai ideologis kebangsaan, niscaya tidak akan meninggalkan jati diri bangsa negara, identitas keindonesia, akar budaya yang mendasari identitas bangsa negara, termasuk pemahaman sejarah terbentuknya negara bangsa ini sejak zaman kerajaraan-kerajaraan nusantara. Nusantara ini adalah ruang komposisi etnis dan kultural yang dibentuk oleh budaya tempatan dan pendatang. Dasar budaya yang turun-temurun dan menempel pada masing-masing komunitas harus dipertahankan. Itu adalah endapan sejarah yang tidak mungkin hilang. Nusantara ini cukup kaya, dengan 300 kelompok etnik, lebih 700 bahasa dan dialek mendiami negara ini; bangsa terkaya bahasa lokal kedua di dunia setelah Papua Nuigini.

Landasan pemahaman kebangsaan, kenegaraan, keberagaman, nasionalisme yang baik, akan mampu menciptakan negara pasca pilpres 2014 dalam menterjemahkan negara bukan hanya dari kacamata kubu yang menang, tetapi mampu menterjemahkan keseluruhan rakyat dari seluruh pelosok nusantara, terlepas dari kubu-kubuan. Mampu melihat, menterjemahkan dan memaknai nusantara dari pelosok-pelosok pedalaman Papua, Papua Barat, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Maluku, Maluku utara, Nusatenggara Timur dan Barat, serta daerah-daerah lain. Bahkan mampu melihat nusantara ini dari kolong jembatan, bantaran sungai, tempat-tempat kumuh dll yang masih banyak didiami oleh manusia nusantara ini.

Mampu menterjemahkan setiap program dalam penghayatan kehidupan bersama, berbangsa, berbudaya, beragama. Negara yang jauh dari prilaku membantai rakyatnya, intimidasi, pengusiran, pengasingan, intoleransi dan ketidakadilan, yang dilancarkan dengan menggunakan kekuasaan negara, dan ini sudah menimpa begitu banyak manusia di nusantara ini. Sistem pembangunan keliru selama ini yang dijalankan oleh negara telah membuahkan ketimpangan yang lebar, segelintir warga telah menikmati hasil pembangunan ekonomi yang membawa mereka kedalam kehidupan modern di tengah rakyat kebanyakan yang masih hidup dalam taraf sangat rendah dan yang tanpak tidak manusiawi atau mirip ‘kotoran’ yang melekat di baju modernitas yang penuh hedonisme dan etnosentrimse, bahkan kotoran yang harus hapus dari muka bumi.

Rakyat berharap, negara pasca pilpres ini, yang mampu menangkap, budaya bisu dari rakyat yang tersisih atau yang tidak terangkut kereta pembangunan dan perberadaban. Negara yang mampu melihat anak-anak negeri yang masih kurus ringkih dengan pandangan mata kosong menatap nasib, pandangan tanpa keinginan dan harapan, anak negeri yang busung lapar, anak negeri yang bukan sedang melenggang di mall-mall atau plaza-plaza gemarlap, yang sedang kursus komputer dan bahasa asing. Tapi anak negeri yang bahkan tidak tercatat sebagai murid sekolah, tidak juga sedang memasak dengan riang sebab tidak ada yang bisa dibeli. Anak-anak negeri semacam ini sangat banyak terdapat diseluruh pelosok nusantara. Ironisnya, pelosok nusantara tersebut, yang kendati kekayaan alamnya setiap hari dapat memberikan kemewahan dan kemajuan hidup bagi segelintir orang hingga ke negeri-negeri yang jauh disana.

Negara ini pasca pilpres, mesti melihat secara cermat dan cernih, kerentanan demi kerentanan tampak terus hadir di tengah proses pergulatan nusantara ini menjadi negara bangsa. Kerentanan yang bersifat klasik tidak hanya terkait dengan kontestasi cita-cita ideologi dan politik kebangsaan semata. Kerentanan juga terus datang dari faktor kesenjangan struktur ekonomi, kelas sosial, keagamaan, kesenjangan pusat daerah, identitas, kebudayaan dan sebagainya.

Rakyat nusantara tidak mengharapkan negeri ini kembali terancam mengalami keruntuhan, disintegrasi bangsa negara, runtuh solidaritas sosial-politik, kesenjangan sosial melebar, kepercayaan publik hilang, krisis ekonomi berkelanjutan, konflik sosial vertikal dan horizontal, korupsi merajalela, hilangnya nasionalisme kebangsaan yang akhirnya mengalami krisis multidimensi yang sangat sulit diobati.

Maka, ideologis kebangsaan yang mampu masuk kedalam ranah kognitif publik, karena terbukti ranah ini sebagai arena yang strategis dalam membangun negara bangsa atau bahkan dapat merusaknya. Untuk itu, dibutuhkan sistem politik, sistem pemerintahan yang mampu melayani kepentingan publik. Dalam ranah kognitif publik ini direproduksi nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan. Sehingga negara tidak terjebak dalam tarikan kepentingan prakmatis, kepentingan politik elite dan kepentingan pemodal, baik dari dalam dan luar, tidak terseret dalam skenario kapitalisme domestik dan kapitalisme global. Negara dan publik tidak mudah terseret dalam arus budaya komersialisme dan konsumerisme.

Ideologis kebangsaan kenegaraan mesti mampu mengalahkan prakmatisme yang bersifat hedonism yang mengutamakan konsumerisme dan kapitalisme. Mengingat begitu kuatnya tarikan nilai-nilai konsumerisme, intervensi kekuatan kapitalisme global yang dapat menenggelamkan ideologi kebangsaan kenegaraan. rnKetika negara lemah dalam ideologi kebangsaan dan kenegaraan, bisa menjadi kehilangan arah bahkan lumpuh, negara menjadi lemah; melemahnya sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem hukum dan sistem budaya tidak lagi mampu memenuhi kepentingan rakyat nusantara.

Maka, proses pilpres ini, mesti menjadi pembelajaran untuk memperkuat ideologi identitas kebangsaan dan kenegaraan yang akan mampu melahirkan negara bangsa yang kuat, bermartabat, mandiri dan sejahtara. Sehingga negara ini kembali pada hakikatnya sebagai negara yang dilahirkan, dihidupkan oleh manusia-manusia dari seluruh nusantara, demi memperbesar daya manusia dalam mewujudkan segenap keinginan, jerih payahnya, kebutuhan dan cita-cita yang mensejahterakan dan sebagai tempat berdiam yang menentramkan jiwa raga.

Isi Artikel dan Foto yang diunggah menjadi tanggungjawab SIPer
Komentar
Nama
Masukkan Kode verifikasi :