Politik Pencitraan

0
111

Lebih penting; kemasan! Demikian Goenawan Muhammad, kehidupan politik telah berubah menjadi lapak, gerai, kios dan show-room. Sebuah masa yang menempatkan hasil jajak pendapat umum jadi ukuran yang lebih penting ketimbang kebenaran. Penampilan yang atraktif, lebih efektif ketimbang prestasi dan gagasan sosial yang menggugah. Kemasan atau kemampuan mengelola citra menjadi penjelasan yang paling representatif dalam banyak pemilihan umum.

Proses pencitraan ini, diperkuat dimasa reformasi membuka babak baru dalam praktek komunikasi politik. Kemerdekaan berpendapat dan demokrasi menjadi landasan bagi setiap orang untuk menyuarakan idenya. Pengolahan citra, persuasi dan retorika politik dilakukan dengan cukup baik oleh para aktor politik untuk memperoleh simpati rakyat.

Komunikasi politik tidak hanya menyangkut partai politik, melainkan juga lembaga pemerintahan legislative dan eksekutif. Sumber atau komunikator politik merupakan mereka yang dapat membari informasi tentang hal-hal yang mengandung makna, bobot atau pesan politik, dapat melalui seorang presiden, menteri, politisi, fungsionaris partai politik, fungsionaris Lembaga Swadaya Masyatakat (LSM), aktifis, dan kelompok-kelompok penekan yang biasa mempengaruhi jalannya pemerintahan.

Water Lippman (1965), menyebutkan citra merupakan dunia menurut persepsi kita, atau pictures in our head, yang merupakan gambaran tentang realitas-yang bisa jadi-tidak sesuai dengan realitas. Citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima melalui berbagai media, yang bekerja membentuk, mempertahankan, atau meredefinisikan citra. Dari sudut pandang ilmu sosial, salah satu pendekatan teoritik tentang penciptaan citra adalah impression management atau manajemen kesan dimana citra dipandang sebagai kesan seseorang atau suatu organisasi terhadap orang atau organisasi lain.

Sedangkan Dan nimmo (1978), citra adalah segala hal yang berkaitan dengan situasi keseharian seseorang; menyangkut pengetahuan, perasaan dan kecenderungannya terhadap sesuatu. Sehingga citra dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu. Teori image building menyebutkan bahwa, citra akan terlihat atau terbentuk melalui proses penerimaan secara fisik/panca indra, masuk ke saringan perhatian/attention filter, dan dari situ menghasilkan pesan yang dapat dilihat dan dimengerti/perseived message, yang kemudian berubah menjadi persepsi dan akhirnya membentuk citra.

Citra merupakan gambaran menyeluruh yang ada di kepala pemilih mengenai kandidat maupun program. Proses pengambilan keputusan tidak selamanya dipengaruhi oleh pengetahuan pemilih tentang program-program partai maupun oleh informasi-informasi yang membangun brand politik, tetapi proses itu bisa jadi dipengaruhi kuat oleh impression /keterkesanan dan nonrational evaluation criteria/kriteria yang tidak rasional yang dipakai pemilih dalam mengevaluasi para kandidat/parpol.

Citra di dalam politik sebenarnya lebih dari sekedar strategi untuk menampilkan kandidat kepada para pemilih. Tetapi juga berkaitan dengan kesan yang dimiliki oleh pemilih baik yang diyakini sebagai hal yang benar atau tidak. Artinya, citra lebih dari sekedar pesan yang dibuat oleh kandidat ataupun gambaran yang dibuat oleh pemilih, tetapi citra merupakan negosiasi, evaluasi dan konstruksi oleh kandidat dan pemilih dalam sebuah usaha bersama.

Dengan kata lain, keyakinan pemilih tentang kandidat berdasarkan interaksi atau kesalingbergantungan antara yang dilakukan oleh kandidat dan pemilih.
Dengan demikian citra adalah transaksi antara strategi seorang kandidat dalam menciptakan kesan personal dengan kepercayaan yang sudah ada dalam benak para pemilih. Pemilih sesungguhnya melihat kandidat bukan berdasarkan realitas yang asli melainkan dari sebuah proses kimiawi antara pemilih dan citra kandidat atau gambaran imajiner.

Citra yang baik, dengan sendirinya akan meningkatkan popularitas dan elektabilitas kandidat, begitupun sebaliknya. Karena semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk meraup dukungan pemilih semakin besar. Namun dalam konteks pembentukan citra, tidak sedikit yang kehilangan kekuatan penarik perhatian/eye catching.

Citra yang sebelumnya diharapkan mampu menciptakan kejutan, stimulasi, dan gebrakan informasi tidak terduga/entropy-berubah menjadi pengulangan-pengulangan yang terduga/redundancy. Citra-citra berestetika dan berselera tinggi, karena kehabisan perbendaharaan tanda, pada akhirnya menjadi citra-citra yang murahan dan  dangkal. Dalam konteks komunikasi politik, hal ini berlangsung saat citra-citra politik tampil dalam jumlah banyak, frekuensi tinggi, dan waktu cepat sehingga menyebabkan pesan yang disampaikan tidak lagi menarik perhatian publik.

Yasraf Amir Piliang (2004), melihat proses ini dalam beberapa logika, antara lain;

pertama, logika kecepatan (speed), saat ada kecenderungan di kalangan tim pemenangan mengerahkan segala potensi dan perbendaharaan tanda, citra, dan narasi dalam waktu yang dipadatkan/time compression, sehingga pada satu titik tertentu menimbulkan kejenuhan publik.

Kedua, logika ekstasi komunikasi/ecstacy of communication, ekstasi dalam penampakan citra diri/appearance, secara habis-habisan-dengan mengerahkan segala potensi citra yang ada, bahkan citra yang telah “melampaui” kapasitas, kemampuan, kompetensi, dan realitas yang bersangkutan tanpa mempertimbangkan kaitan antara waktu penayangan dan kondisi psikologi massa.

Ketiga, logika tontonan/spectacle, kampanye politik saat ini yang telah bergeser ke arah bentuk tontonan massa, dengan mengikuti prinsip dan logika tontonan umumnya, dengan memberi kesenangan, hiburan, kepuasan semaksimal mungkin, dengan menggali berbagai efek kelucuan, humor, dan dramatisasi yang bersifat palsu tanpa ada ruang untuk menginternalisasikan makna-makna politik yang sesungguhnya.

Keempat, logika simulakrum/simulacrum, eksplorasi perbendaharaan tanda dan citra secara berlebihan dan “melampaui batas” sehingga antara citra politik yang ditawarkan dan realitas sebenarnya ada jurang amat dalam. Dicitrakan “sederhana”, “bersahaja”, dan “merakyat”, padahal hidup dalam kemewahan dan kelimpahan harta.

Kelima, logika mitologisasi/mithologisation, berbagai bentuk mitos, fantasi, dongeng, fiksi, imajinasi, halusinasi yang bukan bagian realitas seorang, kini ditampilkan seakan-akan sebagai “realitas” yang sebenarnya. Inilah mitos-mitos tentang keturunan, asal-usul, kesuksesan atau kebesaran masa lalu, yang sebenarnya bukan merupakan realitas masa kini.

Keenam, logika pencitraan sempurna/perfection of image, penggambaran citra seorang sebagai sosok sempurna, seakan-akan tanpa cacat, kelemahan, dan dosa, dicitrakan sedemikian rupa, seakan-akan seorang yang “bersih” dan “tanpa dosa”.

Ketujuh, logika budaya populer/popular culture, menampilkan citra- citra dangkal, permukaan, dan populer dalam rangka mendekatkan seorang dengan massa populer. Inilah iklan-iklan politik yang menggunakan gambar anak sekolah, kelompok subkultur, budaya anak muda, bahasa gaul, bahasa populer, gaya selebriti guna menarik massa.

Kedelapan, logika obesitas, terlalu padat, cepat, dan tinggi frekuensi penayangan citra-citra iklan politik, sehingga menimbulkan sebuah kondisi terlalu menggembungkan tanda dan informasi, yang tidak sebanding dengan kemampuan publik dalam memersepsi, menerima, membaca, memaknai, dan menginternalisasikannya dalam sebuah sikap atau preferensi politik.

Maka untuk menghindarkan proses pencitraan dari hal tersebut, dibutuhkan manajemen pencitraan/management of image yang efektif sehingga di satu pihak citra dapat menarik perhatian dan simpati publik, di pihak lain mampu pula menjadi ajang pendidikan politik.

Proses pencitraan semakin beragam dan menarik, melalui berbagai strategi;

Pertama, pure publicity yakni mempopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial yang natural atau apa adanya, Nimmo (1993) menyebutnya sebagai “diri politik” sang politisi.

Kedua, free ride publicity yakni publisitas dengan cara memanfaatkan akses atau menunggangi pihak lain untuk turut mempopulerkan diri. Tampil menjadi pembicara di sebuah forum, mensponsori kegiatan-kegiatan sosial, berpartisipasi dalam pertandingan olahraga di sebuah daerah dan lain-lain.

Ketiga, tie-in publicity yakni memanfaatkan extra ordinary news  atau kejadian sangat luat biasa, seperti peristiwa tsunami, gempa bumi atau banjir bandang. Kandidat dapat mencitrakan diri sebagai orang atau partai yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi.

Sebuah peristiwa luar biasa, selalu menjadi liputan utama media, sehingga partisipasi didalamnya sangat menguntungkan. Keempat, paid publicity yakni cara mempopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau program di media massa. Seperti, pemasangan advertorial, iklan, blocking time program, dan lain-lain.

Sebagai bagian dari persuasi, pencitraan dapat dilakukan melalui berbagai strategi, mulai dari yang paling sederhana/tradisional hingga yang paling moderen. Pencitraan yang positif akan berpengaruh positif pula terhadap sikap, kepercayaan dan tingkah laku orang yang dipersuasi, begitu pun sebaliknya.

Pencitraan dalam komunikasi politik sangat tergantung dengan usaha-usaha persuasi yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh persuader terhadap the persuadee. Pada konteks inilah, dibutuhkan manajemen pencitraan atau satu penataan dan pengelolaan terhadap suatu kegiatan yang mempunyai dampak positif (baik) terhadap nama baik (pencitraan) individu maupun kelompok (organisasi, partai dan lain-lain).

Citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima oleh publik, baik langsung maupun melalui media massa. Citra pada publik terwujud sebagai konsekuensi kognitif dari komunikasi. Komunikasi tidak secara langsung menimbulkan pendapat atau prilaku tertentu, tetapi cenderung mempengaruhi cara khalayak mengorganisasikan citranya tentang lingkungan dan citra itulah yang mempengaruhi pendapat atau prilaku publik.

Citra politik dapat dirumuskan sebagai suatu gambaran tentang politik (kekuasaan, kewenangan, autoritas, konflik dan konsensus) yang memiliki makna, kendatipun tidak selamanya sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Citra politik tersusun melalui persepsi yang bermakna tentang gejala politik dan kemudian menyatakan makna itu melalui kepercayaan, nilai, dan pengharapan dalam bentuk pendapat pribadi yang selanjutnya dapat berkembang menjadi pendapat umum.

Para politikus, utamanya kandidat sangat berkepentingan dalam pembentukaan citra. Sehingga tidak berlebihan, bila menjelang Pileg dan Pilpres 2014 saat ini, figur-figur yang muncul, berusaha keras menciptakan dan mempertahankan tindakan politik yang dapat membangkitkan citra yang memuaskan, supaya dukungan opini publik dapat diperoleh dari rakyat sebagai khalayak komunikasi politik.

Gabriel Almond (1976), menyebutkan semua bentuk interaksi manusia melibatkan komunikasi. Media massa ikut mempengaruhi struktur komunikasi dalam masyarakat. Dalam pembangunan opini publik, media massa merupakan salah satu media yang sangat strategis.

Sedangkan menurut Mcquail (1991), media paling baik digunakan secara terencana untuk menimbulkan perubahan dengan menerapkannya dalam program yang berskala besar. Di negara-negara berkembang seperti di Indonesia, media massa merupakan media yang dapat menjangkau secara luas ke seluruh pelosok dan penjuru masyarakat tanpa orang atau tokoh harus hadir di tengah-tengah masyarakat. Melalui media massa pembangunan opini publik dan pencitraan dapat dilakukan tanpa harus tokoh poltik hadir di masyarakat.

Di antara media pencitraan politik yang sangat menonjol saat ini adalah industri media massa. Kekuatan utama media di era informasi adalah kemampuan media dalam mengkonstruksi realitas. Artinya, kekuatan dalam mengemas berbagai isu yang ada, sehingga menonjol ke permukaan dan akhirnya menjadi perbincangan publik/public discourse yang menarik.

Artinya, penguasaan atas media akan menjadi pintu masuk dalam pengemasan dan penguasaan opini publik. Selanjutnya, dengan menguasai opini publik diharapkan akan mudah mengarahkan kecenderungan pilihan khalayak sesuai dengan yang diharapkan.

Dalam berbagai kepustakaan ilmu komunikasi massa dijelaskan bahwa, pesan politik yang disampaikan oleh media massa bukanlah realitas yang sesungguhnya, melainkan realitas media atau realitas tangan kedua/second hand reality, yang dibuat oleh wartawan dan redaktur yang mengolah peristiwa politik menjadi berita politik, melalui proses penyaringan dan seleksi.

Berdasarkan citra yang mungkin tidak tepat itu, dapat terbangun pada diri khalayak gambaran umum yang disebut stereotipe. Stereotipe itu diolah, diorganisasikan dan disimpan sebagai informasi politik oleh khalayak yang selanjutnya membentuk citra politik. Disinilah bahaya dari pengaruh media massa yang dipandang sebagai lembaga yang mengancam terhadap nilai-nilai kebenaran dan rasionalitas manusia.

Ernes van den Haag (1968) mengkritik dengan pedas, bahwa media massa pada akhirnya akan mengasingkan orang dari pengalaman personalnya, dan memperluas isolasi moral serta realitas dari diri mereka sendiri. Kritikus sosial itu juga menyimpulkan bahwa media massa telah “menipu” khalayaknya, dengan menampilkan citra politik yang keliru dari hasil karya para wartawan dan redaktur.

Meskipun realitas media merupakan polesan yang tidak sesuai dengan fakta dan realitas yang sebenarnya, namun tetap banyak kalangan dalam masyarakat (khalayak) yang cenderung menerima begitu saja informasi dari media massa, baik karena rendahnya tingkat pendidikan maupun kelalaian.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa media massa dapat membentuk citra politik individu-individu yang menjadi khalayak media massa ke arah yang dikehendakinya. Media massa juga dapat mengarahkan publik dalam mempertahankan citra yang sudah dimilikinya. Kedua hal itu dilakukan oleh media massa melalui proses gatekeeping dan agenda setting.

Media massa juga sering disebut sebagai cermin masyarakat. Lee Lowinger (1968) telah menyajikan teori komunikasi massa yang disebut sebagai reflective-projective theory. Asumsi dasar teori ini adalah, media massa merupakan cermin masyarakat yang merefleksikan suatu citra yang menimbulkan banyak tafsiran. Justru itu setiap orang dapat memproyeksikan diri dan citranya. Media massa mencerminkan citra masyarakat, dan sebaliknya khalayak memproyeksikan citranya pada penyajian media massa.

Dengan demikian, media dengan berita politik, tokoh politik, partai politik, kebijakan politik  dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda, citra politik yang berbeda bagi masing-masing orang. Media massa, bukan saja cermin masyarakat politik yang ambigu, tetapi media massa juga dapat disebut sebagai cermin masyarakat politik yang retak, karena tidak mampu merefleksikan seluruh realitas politik yang ada secara menyeluruh, tepat dan benar.

Hanya merupakan mosaik dari keping-keping peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Namun demikian, media massa tetap memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk persepsi dan citra politik khalayak/pemilih. [*]

Penulis Kamaruddin Hasan  Dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Unimal Aceh
Ketua Development for Research and Empowerment (DeRE-Indonesia)
Email: kamaruddinkuya76@gmail.com

TIDAK ADA KOMENTAR

LEAVE A REPLY