Reintegrasi dan Spirit Janda Konflik Aceh

10 - Oct - 2008 | Kamaruddin Hasan | No Comments »

Reintegrasi sosial perempuan korban konflik semestinya bisa membedah sampai pada persoalan citra gender, perempuan (janda) Aceh, dan Inong Balee.

Penelitian awal pasca konflik dan pasca MoU Helsinki dengan beberapa lembaga seperti The Asia Fondation, UNDP, LIPI, KOMNASHAM, KONTRAS, dan UNIMAL mengungkapkan bahwa mantan kombatan dan korban konflik masih belum berdaya. Kebanyakan dari mereka belum mampu memanfaatkan ruang publik (publik sphere), terutama kaum perempuan yang tergabung dalam Inong Balee maupun korban konflik secara umum. Banyak dari mereka belum mampu mengakses proses komunikasi, informasi dan kebijakan dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA) atau Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA). Pola partisipatif, sosialiasi lembaga, peran, transparansi, dan keikhlasan pada tingkat penguasa belum berjalan sebagaimana mestinya. Daerah konflik seperti Aceh, rentan dengan kondisi pseudo-neurotik yang menyebabkan mereka terpasung dan tertekan secara sosiokultural, bahkan tekanan psikologis.

Mereka masih merasa tak memiliki siapa pun dan apapun yang bisa mengangkat atau meminimalkan keresahan, harga diri, kepercayaan diri, dan keinginannya. Mereka masih merasa asing dalam melakukan interaksi secara dialektis dengan masyarakat. Ketika mereka berkomunikasi dengan masyarakat, masih merasa berhadapan dengan orang asing, terutama orang non-Aceh. Kelompok rujukan in group atau opinion leader masih mempengaruhi peran dan cara mereka dalam mengartikan hubungan interpersonal. Rupanya pengaruh keterasingan dengan lingkungan masyarakat selama bertahun-tahun di hutan, telah membuat mereka relatif tertutup. Keanggotaan mantan kombatan, korban konflik, dan kelompok rujukan mempengaruhi nilai, norma, dan aturan yang mereka pelajari. Kecenderungan ini seringkali mendorong anggapan dan dugaan yang tidak akurat mengenai perilaku orang asing dari luar kelompok mereka.

Sebagai catatan, kebanyakan perempuan Aceh selain korban konflik sekaligus korban tsunami termasuk beberapa inong balee atau askariyah, tersebar di gampong-gampong dalam wilayah kecamatan ‘hitam’ semasa konflik. Mereka belum tersentuh oleh  pemberdayaan. Sedikit sekali perempuan ini yang mendapat akses pemberdayaan baik melelaui KPA, BRA, NGO, Pemda, maupun BRR.

Perempuan Aceh: Derita Tiada Akhir

Di Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara, perempuan korban konflik dan tsunami kebanyakan berprofesi sebagai nelayan, petani garam, petani tambak, petani sawah, dan pedagang kecil. Di dekat pantai Ulee Rubeuk Barat Kecamatan Seunuddon, seorang perempuan berumur sekitar 50 tahun, berkulit hitam, penuh peluh bersama anaknya yang tampak lusuh, sambil berjongkok menjemur ikan teri dan ikan kayu yang baru saja dibersihkan dan digarami. Perempuan itu bekerja sebagai seorang pembuat ikan asin. Ia juga mengaku pernah terlibat dalam TNA (Tentara Nasional Aceh) atau GAM (Gerakan Aceh Merdeka) meski tidak sempat memanggul senjata.

Menurut orang-orang gampong, beliau adalah salah satu Inong Balee yang melawan kezaliman tentara Indonesia. Menurut penuturannya, ibu tiga orang anak tersebut pernah disiksa lantaran suaminya dituduh sebagai TNA –Hamzah yang sampai sekarang hilang setelah ditangkap TNI (Tentara Nasional Indonesia) tahun 2002 lalu. Trauma, keterasingan, kecemasan, dan rasa takut masih menyelimuti jiwanya. Menyoal seputar bagaimana kehidupan perempuan korban konflik dan bencana tsunami, ia berpendapat bahwa selama ini akses pemberdayaan bagi kaum marginal seperti perempuan nelayan dan petani garam, terasa sangat sulit. Alasannya, karena mereka rata-rata tidak memiliki agunan, tidak ada garansi untuk melunasi cicilan, dan besarnya bunga yang harus dibayar menjadi sebab mengapa perempuan korban konflik dan bencana sulit untuk memperoleh modal usaha.

Sedangkan gampong sebelahnya, Ulee Rubek Timur, Ibu-ibu petani garam –menurut data koperasi setempat ada sekitar 20-an orang– pernah mendapat  modal usaha dari koperasi. Sambil berjongkok dengan pengeruk pasir di tangan, ibu-ibu tersebut bercerita tentang keluh kesah kehidupan pasca tsunami dan konflik. Di bawah terik matahari siang, tampak kerut-kerut di wajah yang legam disengat matahari. Ada secercah harapan dan optimisme masa depan terpancar dari sudut-sudut penderitaan mereka. Mereka sudah tidak takut lagi ke tambak pinggir pantai tempat membuat garam. Salah seorang Ibu lebih muda berumur sekitar 40 tahun bernama Zakiatun menuturkan aktivitasnya pasca konflik dan bencana yang melanda Aceh:

“Sebelum tsunami dan masa konflik kami sudah seperti ini, memang banyak yang datang nanya-nanya tapi belum ada bantuan apapun, baru tahun lalu kami dapat bantuan dari koperasi. Melalui anak kami Darman dan Aidi, ya…dengan bantuan itu kami bisa membeli beberapa peralatan dan memperbaiki gubuk pembuatan garam. Kami ini korban tsunami dan konflik, kami jangan dijadikan bulan-bulanan lah.., banyak yang datang ke kami hanya ambil data, tanya kebutuhan dan lain-lain, tapi sampai saat ini tidak kembali lagi. Kami sudah didata oleh banyak pihak, kami sudah bosan.., padahal kami dengar uang banyak di Aceh. Kami ini hanya petani garam apalah kuasa, kami hanya pasrah serahkan pada Allah nasib ini, tapi kami tetap menjalankan kerja seperti ini.., bantuan dari koperasi walau lambat tapi tetap kami cicil setiap penjualan garam, ya maklum harga garam pun murah sekali.., memang ada beberapa LSM yang mendata kami sebagai petani garam… ada lah yang mereka bantu berupa alat-alat dan training di meunasah…” 

Di antara ibu-ibu itu, Siti Fatimah (45 tahun) mengatakan bahwa suaminya meninggal akibat konflik. Sekarang Bu Siti harus menghidupkan empat anaknya walaupun ada yang sudah berkeluarga. Beberapa dari ibu-ibu janda konflik tersebut mengaku bahwa tempat tinggal mereka pernah diobrak-abrik, dituduh pernah memberi makan TNA saat Aceh dalam status DOM (Daerah Operasi Militer).

Tidak hanya perempuan janda konflik dan bencana yang merasa hidup dalam kesusahan karena keterbatasan bantuan modal usaha, kaum laki-laki pun mengalami masalah yang relatif sama. Bukhari sebagai petani tambak di Keude simpang jalan Seunuddon, menerima bantuan modal mikro bentuk mudharabah senilai Rp.7.000.000,- untuk membeli bibit bandeng, obat-obatan tambak, dan pakan. Ia menuturkan pada masa konflik, “jangankan ‘orang asing’ yang datang menyapa, orang Aceh atau orang se-kampung pun ada kecurigaan.” Bukhari rupanya kehilangan anak laki-laki dan istrinya. Mereka ‘diambil’ secara paksa. Sampai saat ini, belum jelas siapa yang ‘mengambil.’ Namun menurut orang-orang gampong katanya yang ‘mengambil’ berbaju loreng bisa TNA maupun TNI.

Hal senada juga diungkapkan oleh Bu Halimah Syu’ib, ia pernah mengajukan modal konflik kerena warungnya pernah diobrak-abrik, malah ada yang dibakar oleh TNI yang datang mencari TNA saat pembacokan anggota Brimob di Seunuddon tahun 2001 lalu.

 

“…Saya sendiri pernah mengajukan proposal ke BRA, namun sampai saat ini belum ada kejelasan, padahal saya kan korban konflik. Warung saya hancur, saya tidak tahu harus melaporkan ke mana, pihak gampong dan kecamatan sudah mendata, katanya ada bantuan modal untuk warung saya. Saya sudah bosan nanya terus.”

Nasib perempuan korban konflik sekaligus tsunami di Kecamatan Seunuddon semakin berat, tatkala gempa dan gelombang tsunami menghantam Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 lalu. Bencana yang sangat dahsyat dan tragis itu, tidak hanya merenggut ratusan ribu nyawa, menghancurkan semua sektor kehidupan dan infrastruktur. Gempa dan gelombang tsunami juga telah menghancurkan harapan para nelayan, petani, pedagang, dan peternak di daerah pesisir, wilayah utara, barat, dan timur Aceh. Komunitas masyarakat yang selamat dari bencana tsunami itu, harus berjuang hidup dalam keadaan yang memprihatinkan.

Berjuang bangkit dari puing-puing kehancuran total tanpa ada keluarga, tanpa ada harta benda, rumah, dan modal usaha. Memulai hidup dari puing-puing kehancuran adalah sebuah permulaan yang sangat berat. Oleh sebab itu, nasib mereka –korban (victims) maupun yang selamat (survivors)– perlu mendapatkan perhatian yang besar. Mereka memerlukan upaya pemulihan selain pemulihan jiwa yang trauma, juga sangat diperlukan pemulihan ekonomi untuk mendorong perbaikan kehidupan mereka yang telah hancur.

Kisah lain, dialami oleh Cut Masna (40 tahun), seperti pernah dikisahkan oleh Aceh magazine, Cut Masna kehilangan suaminya, Zakaria, saat konflik. Zakaria meninggalkan seorang istri dan anak berumur 10 tahun yang bernama Siti.

”Suami saya dijemput oleh orang bersenjata selesai shalat maghrib, esoknya ditemukan jadi mayat di pinggir sungai, suami saya ditembak.”

Setelah ditinggal suami, Cut Masna harus berjuang keras untuk menutupi kebutuhan hidup dan membiayai pendidikan dua anaknya yang masih sekolah. ”Anak saya semua enam orang, dua sudah berkeluarga, dua lagi sudah bekerja, penghasilannya hanya cukup untuk mereka masing-masing,” ucapnya dengan isak tertahan. Desa Mangeu Kemukiman Lamkabeu Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, menjadi tempat tinggal wanita janda itu bersama Si buah hati. Mereka tinggal di sebuah rumah yang terbuat dari kayu berdinding papan yang sudah lapuk, ber-atap anyaman daun rumbia yang sudah mulai kelihatan bocor. Setiap hari ibu enam anak ini harus bekerja keras menanam sayur di ladang, karena hanya itu satu-satunya peninggalan mendiang suami. Selain bekerja di ladang sendiri, kadang-kadang dia juga bekerja untuk orang lain dengan imbalan Rp.25.000,- per hari, itu pun diperolehnya tidak setiap hari. Bagi Cut Masna, uang senilai Rp.25.000,- cukup untuk makan sehari-hari dan jajan dua anaknya di sekolah. Ada satu hal yang patut dipertanyakan di sini, mengapa Cut Masna harus menghadapi nasib seperti ini? Bukankah Badan Reintegrasi Aceh (BRA) sudah mengucurkan dana ratusan milyar rupiah untuk korban konflik? Memang Cut Masna pernah mengajukan proposal usaha ke BRA, tapi tidak pernah ada jawaban. Meskipun tanpa didukung oleh dana reintegrasi, semangat hidup Masna sepertinya tidak pernah pudar. Buktinya, tiap hari Masna tetap beraktivitas, mencari nafkah untuk anak-anaknya.

Janda Korban Konflik Aceh

Berteman dengan cangkul dan bakur sudah menjadi bagian dari kehidupan perempuan korban konflik seperti Cut Masna setelah ditinggal suaminya. Sebenarnya bukan hanya Cut Masna yang mengalami nasib seperti itu, tapi masih ada wanita janda korban lainnya yang sampai sekarang belum mendapatkan bantuan sebagaimana yang pernah dijanjikan.

Nasib serupa di alami Nurul Latifah (25 tahun), warga Desa Krueng Batee, Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya. Masih terngiang jelas di kepala ibu satu orang anak ini akan kenangan pahit yang dialaminya. “Konflik telah merenggut kebahagiaan saya, suami saya, dan juga masa depan saya.” Dengan nafas tersengal dan nada suara yang sedikit tinggi, ibu muda ini mulai dibalut emosi. Lalu ia menceritakan kisah memilukan yang tak akan pernah bisa lekang dari lembaran hidupnya.

Pagi itu, Selasa 12 Desember 2003, tidak seperti biasa Zainuddin (30), yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil, terlihat lebih ceria sebelum berangkat ke kantornya. Maklum saja, kebahagiaan baru menyelimuti keluarga ini. Pasalnya 12 hari yang lalu, mereka baru dianugerahi seorang buah hati, Rahmat Wahyudi. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, di tengah perjalanan, Zainuddin tewas setelah timah panas menembus tubuhnya. Suami Nurul menjadi korban konflik. Konflik antarpihak yang bertikai, bisa merengut nyawa siapa saja tanpa kompromi. Laksana disambat petir di siang bolong, Nurul tak kuasa menerima kenyataan yang baru saja didengarnya. Kebahagiaan yang baru saja didapat, tiba-tiba berubah menjadi samudera kesedihan. Suami tercinta, yang selama ini menjadi penopang hidup keluarga, telah pergi untuk selamanya. “Bagaimana saya menjawab jika anak menanyakan ke mana ayahnya,” isak Nurul. Kenangan itu tidak akan bisa dimaafkan Nurul, walau pemerintah telah berjanji memberikan kompensasi kepada janda korban konflik, namun bukan itu yang diinginkannya. “Tuntutan saya hanya satu, usut dan tangkap orang yang telah membunuh suami saya,” tukas dia. Setelah kepergian Zainuddin, Nurul menopang sendiri ekonomi keluarganya. Lama kelamaan bantuan dari keluarga semakin berkurang bahkan hampir tidak pernah lagi didapat.

Masih banyak janda korban konflik yang bernasib sama bahkan lebih buruk dari Nurul. Uang tidak bisa mengembalikan suami mereka, permintaan maaf saja tidak akan cukup. “Keadilan harus ditegakkan. Janji pemerintah harus dilunasi, jangan hanya janji-janji saja, ini semua agar damai tetap terus bersemi,” pinta Nurul.

Masih ingat “Bukit Janda“? Lokasi tersebut identik dengan sosok perempuan bernama Farida, tokoh perempuan Aceh yang sampai saat ini masih aktif membantu janda-janda korban konflik. Farida berjuang untuk pemulihan nasib kaum perempuan yang kehilangan suami, diperkosa, serta anak-anak yatim piatu yang kehilangan orangtuanya akibat tindak kekerasan di Aceh pada kurun waktu 1990-1998. Upaya yang dilakukan Farida bersama Abdul Gani Nurdin mendirikan YADESA sebuah yayasan yang mencari dana untuk korban DOM, terutama perempuan dan anak-anak. Yayasan ini membangun sebuah Taman Kanak-kanak di Desa Bukit Janda, 60 kilometer sebelah selatan Sigli Kabupaten Pidie. Farida Hariyani, wanita aktivis kemanusiaan penerima Yap Thiam Hien Award 1998 ini banyak memantau kondisi perempuan dan anak-anak di Kabupaten Pidie. Ia mengurus dan menjadi kepala sekolah sekaligus guru TK Yadesa di Desa Bukit Janda Ulee Glee, Kecamatan Bandar Dua Kabupaten Pidie.

Refleksi Pengalaman Perempuan Aceh

Ketika mencoba merefleksikan pengalaman perempuan Aceh, setidaknya terdapat empat kondisi akibat konflik bersenjata. Pertama, perempuan menjadi kombatan. Kedua, perempuan ditinggalkan keluarganya untuk berperang –kelompok ini ada yang tinggal di komunitas asal dan di pengungsian. Ketiga, perempuan menjadi tahanan politik. Keempat, perempuan menjadi korban penyiksaan oleh pihak-pihak yang berkonflik dan menjadi janda karena suaminya meninggal akibat konflik. Celakanya, seorang perempuan dapat sekaligus mengalami keempat kondisi tersebut.

Konflik bersenjata mengakibatkan laki-laki yang berperang bergantung banyak pada perempuan yang ditinggalkan. Mereka menggantungkan sebagian bantuan logistik dan transportasi pada perempuan yang bertahan di komunitas. Demikian pula keberlangsungan hidup keluarga yang ditinggal, nafkah sehari-hari, serta pemenuhan pendidikan dan kesehatan. Akhirnya banyak perempuan berperan sebagai kepala keluarga. Karena perannya sebagai penopang kelompok bersenjata dan posisinya yang tinggal di komunitas, perempuan kelompok ini rentan mengalami interogasi, penahanan, dan penyiksaan oleh pihak lawan.

Menurut pemantauan Komnas Perempuan dan enam organisasi perempuan di Aceh, terdapat 34 perempuan tahanan politik, sebelum masa damai. Dari jumlah itu, 7 orang perempuan ditahan sebagai sandera agar anggota keluarga yang terlibat TNA datang, sehingga TNI dapat menangkapnya. Kemudian 6 orang ditahan karena dituduh menjadi anggota Inong Bale, 10 orang ditahan dengan tuduhan membantu TNA, 6 orang ditahan karena suaminya anggota TNA, 2 orang ditahan karena saudara kandungnya anggota TNA, 1 orang ditahan TNA karena suaminya anggota TNI, dan 2 perempuan ditahan TNA karena berpacaran dengan anggota TNI. Tujuan penahanan dan tindak kekerasan terhadap perempuan itu tidak terlepas dari upaya mendapatkan informasi keberadaan anggota TNA.

Para perempuan tahanan politik itu mengalami penyiksaan psikis, fisik, dan seksual. Penyiksaan psikis berupa ancaman ditembak, dipotong telinganya, disetrum, dan rumah mereka dibakar jika tidak memberikan informasi. Salah seorang diancam dengan ditunjukkan kain kafan sebagai ancaman kematian. Penyiksaan psikis juga dilakukan dengan cara-cara berbasis gender, yaitu menyiksa anak di hadapan perempuan tahanan. Penyiksaan ini menyerang motherhood perempuan. Apalagi dalam konstruksi sosial kita, peran perawatan, pengasuhan, dan perlindungan hampir sepenuhnya dijalankan oleh ibu. Penyiksaan psikis berupa memperdengarkan penyiksaan sampai pembunuhan suami tahanan. Kekerasan fisik berupa dipukul, diikat, kaki ditusuk bayonet, dijemur berjam-jam di bawah terik matahari, dan ujung telinga ditembak. Beberapa tahanan jatuh pingsan karena beratnya siksaan. Seorang perempuan di Meulaboh menuturkan, dia direndam berjam-jam di dalam rawa yang banyak lintahnya.

Ada sebuah kisah tentang perempuan tahanan, Salbiah, atau Elit, kadang juga dipanggil ’panglima’ penghuni rumah tahanan wanita di Lhok Nga. Perempuan ini memang dituduh sebagai Panglima Inong Balee Gajah Keng Wilayah IV Teunom. Tuduhan itulah yang membuatnya divonis 18 tahun. Hukuman 18 tahun itu adalah hukuman tertinggi di rumah tahanan (Rutan) yang dihuni sekitar 51 perempuan tersebut. Bahkan tertinggi dari semua terpidana wanita di Aceh. Yang mengejutkan, kepada acehkita.com, Elit alias Salbiah mengaku tidak bisa berbahasa Aceh, sepatah kata pun tidak. Aneh memang, ia mengaku bernama asli Elit Baleno (18 tahun), perempuan ini sebenarnya berasal dari Demak, Jawa Tengah yang berjarak empat jam perjalanan dengan pesawat terbang dari Banda Aceh. Salbiah alias Elit sudah tinggal di Aceh sejak ikut orang tuanya dalam kelompok transmigrasi sekitar 10 tahun lalu, ke Teunom, Aceh Jaya.

Suatu hari, awal Maret 2004, Elit menerima sepucuk surat dari ibunya yang memintanya segera pulang karena ibunya sakit. Esok hari, tanggal 5 Maret 2004, Elit langsung menuju desanya di Teunom. Gadis ini tidak punya firasat apa-apa, ketika di tengah perjalanan, tepatnya di Lamno, Aceh Jaya, mobil yang ditumpanginya dihentikan aparat keamanan. “Waktu itu ada sweeping,” katanya dalam logat Jawa yang kental. Dari wajahnya saja, kebanyakan orang tak akan ragu bila gadis ini berasal dari Jawa. Menurutnya, sweeping itu dilakukan aparat gabungan TNI dan Polisi Militer (POM) dengan memerintahkan semua penumpang untuk turun dan memeriksa KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka satu per satu. Tiba giliran Elit, KTP-nya diambil seorang aparat yang lalu menunjukkannya kepada kawannya. “Oh, ini Panglima Inong Balee Gajah Keng, Wilayah Empat Teunom,” sebut Elit menirukan aparat saat itu. Tuduhan sebagai Inong Balee itu membuatnya digiring hingga ke Polres Meulaboh, Aceh Barat. Dalam pemeriksaan di berbagai tempat, Elit mengaku diperlakukan tak senonoh. Dia diminta membuka baju hingga celana dalam. “Disuruh telanjang. Pakai baju dalam saja, dibilang ada tato,” sebutnya mengenang pemeriksaan di Lamno, Aceh Jaya. Setelah proses tanda tangan itu, Elit kemudian harus menjalani pemeriksaan yang sama di Calang, hingga di Polres Meulaboh, Aceh Barat. Setelah dua minggu menjalani proses pemeriksaan, akhir Maret 2004, kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Calang. Elit mengaku, saat menjalani persidangan, dia tidak didampingi pengacara. Dari situ pula, kedua orangtuanya baru mengetahui keberadaan Elit. Anehnya, kedua orangtuanya tidak mengetahui perihal surat yang diterima Elit tentang ibunya yang sedang sakit. Padahal, surat itulah yang membuatnya meninggalkan Banda Aceh. “Saya tidak pernah terlibat TNA itu. Tahu pun nggak,” tutur Salbiah alias Elit. Setelah disidangkan di PN Calang, Salbiah sempat ditahan selama satu bulan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Calang, sebelum akhirnya dipindahkan ke Lhok Nga, bergabung dengan para wanita yang rata-rata dituduh makar, melawan pemerintah RI.

Di Aceh Timur, sosok yang dikenal sebagai Cut Meutia, memimpin sebuah laskar perang yang beranggotakan perempuan (janda) Aceh. Nama Cut Meutia bukanlah reinkarnasi pahlawan wanita Aceh yang tersohor, karena wanita ini kebetulan lahir di tempat pahlawan Cut Meutia lahir, Pirak, Matangkuli, Aceh Utara. Wanita ini masih tergolong muda, 28 tahun, tetapi sudah menjanda dengan dua orang anak. Suaminya, Tengku Muhammad tewas ditembak aparat pada tahun 1997. “Suami saya bukan anggota TNA, tapi kok ditembak ketika aparat melakukan penyisiran?” ujar wanita yang mengaku tamat SLTP ini. Istimewanya, nama pribadinya ditabalkan oleh musyawarah pimpinan TNA di wilayahnya sebagai nama pasukan yang dipimpinnya.

“Saya tahu, besar resikonya bagi pribadi saya. Tapi, itu diputuskan lewat      musyawarah, karena pimpinan TNA di wilayah saya sepakat menghidupkan kembali nama dan etos juang pahlawan Aceh, Cut Meutia.”

Menurut Meutia, ada dua alasan yang mendorongnya memperkuat barisan TNA di tahun 1999. Pertama, suaminya tewas ditembak aparat tahun 1997, padahal dia bukan TNA. Kedua –ini yang paling memicunya– perilaku aparat keamanan RI yang terus menyesakkan hatinya.

“Rumah penduduk tak berdosa dibakar, warga disiksa dan dibunuh seenaknya, tanpa pernah dibuktikan apa kesalahannya. Kalau yang dibunuh itu angkatan GAM, bagi saya itu tak begitu masalah, karena resiko perjuangan menjadi petempur. Tapi, yang paling banyak terjadi, mengapa orang tidak bersalah pun diklaim TNA, lalu dihabisi? namun buat sementara biarkan saja pria Aceh terlatih yang menghadapi Si Pa’i.”

Untuk melawan kesewenang-wenangan itulah, kata Meutia, pasukan yang dipimpinnya siap angkat senjata dan menyabung nyawa melawan angkatan bersenjata RI yang telah berlaku kasar terhadap rakyat Aceh, terutama dalam sebelas tahun terakhir. Sebagai komandan, Meutia mengaku memiliki 472 personil, dan 200 personil di antaranya sudah mengikuti latihan perang. Dengan demikian, mereka mahir menggunakan berbagai jenis senjata. Sementara 272 personil lainnya hanya mendapat pendidikan intelijen. Menurutnya, Pasukan Inong Balee atau belakangan disebut Askariyah itu tidak seharusnya anak dan keluarga korban DOM. ”Banyak wanita lain yang bukan korban DOM ingin bergabung dengan kami karena panggilan jiwanya, lantaran tak tahan melihat perilaku aparat RI,” tegas Meutia. Sebagian mereka masih berstatus gadis, meski memang banyak yang janda. Mereka lebih banyak dibebankan pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan kejelian. Maka tidak heran jika di jajaran GAM Wilayah Pase (Aceh Utara), pekerjaan merakit bom dan granat lebih dipercayakan kepada Askariyah di bawah komando laskar Cut Meutia.

Penyiksaan seksual merupakan metode penyiksaan untuk menyerang integritas perempuan sekaligus membuat mereka merasa bersalah dan malu, sehingga penyiksaan seperti ini sulit terungkap. Dari 34 perempuan tahanan politik, 5 orang mengungkapkan dipukul payudaranya, difoto saat tidur, dan diancam serta diperkosa. Penyiksaan dan kekerasan berbasis gender tak hanya menimpa perempuan tahanan, tetapi juga menimpa perempuan yang tinggal di komunitasnya atau di pengungsian. Tanpa konflik saja perempuan rentan mengalami kekerasan di level keluarga, komunitas, dan kekerasan oleh negara. Situasi konflik bersenjata memperburuk kerentanan itu. Konsentrasi kelompok bersenjata di komunitas sipil, sweeping, proses interogasi memperkuat relasi tidak seimbang antara sipil dan kelompok bersenjata, serta perempuan dan laki-laki. Negara dan GAM juga memperkuat kondisi tersebut, karena tak pernah membuat aturan yang ketat terhadap para kombatan untuk menghindarkan penyiksaan dan kekerasan berbasis gender pada masa perang.

Dampak penyiksaan seksual membatasi kehidupan sosial korban. Korban menanggung stigma masyarakat. Mereka akan diperlakukan sebagai perempuan yang tidak berharga. Sebab, dalam konstruksi masyarakat patriarkal, orang tidak akan peduli dengan cara apa perempuan mengalami penyiksaan seksual. Banyak gadis direnggut keperawanannya, ibu-ibu rumah tangga ditelanjangi dan diperkosa, disiksa dengan pukulan atau dengan kawat yang dialiri listrik, dipaksa bersetubuh di depan mata orang lain. Mereka yang suaminya terbunuh dalam konflik bersenjata disebut janda DOM. Menurut catatan resmi pemerintah daerah jumlah perempuan janda selama DOM dan kerusuhan pasca DOM berjumlah sebanyak 5.820 orang. Demikian juga yang menjadi korban perkosaan, korban lebih banyak sepuluh kali lipat.

Kebenaran tidak pernah dibuktikan, dan hampir tidak akan mungkin untuk dicapai. BBC 19 Desember 2000 juga pernah melaporkan, seorang korban menuturkan: sebanyak 11 rumah di sebuah kampung digeledah oleh militer, saya adalah satu dari enam perempuan yang diperkosa hari itu. Sekarang saya sangat takut berada rumah saya sendiri. Saya khawatir militer akan datang lagi.” Ini adalah bukti ketidakbecusan Negara dalam menangani korban konflik. Konflik yang mereka ciptakan sendiri. Setiap laki-laki yang berusia diatas 14 tahun di tuduh sebagai milisi dan target yang ‘sah.’ Sehingga ketika ada informasi akan adanya operasi penyisiran (sweeping), semua laki-laki lari ke hutan atau gunung, meninggalkan perempuan-perempuan sendirian dan sangat rentan menjadi korban.

Kisah Marwiyah yang pernah ditahan di penjara Banda Aceh tahun 2002, menegaskan sikap aparat militer yang sewenang-wenang. Mereka percaya suami Mar adalah anggota GAM. Aparat militer mendatangi rumah Mar untuk menginterogasi dan menangkap suaminya. Tetapi pada masa itu suaminya sudah bersembunyi. Karena suaminya tidak ada, Mar kemudian ditahan. Selanjutnya dia dihukum dengan tuduhan mendukung gerakan kemerdekaan, dengan hukuman penjara selama 5 bulan 10 hari. Malam sebelum dia dibebaskan, Mar sakit secara fisik karena stress. Dia seharusnya bahagia karena akan dibebaskan, tetapi ada sesuatu yang yang menjadi masalah baginya.

”Saat saya ditahan, saya sedang hamil dua setengah bulan. Saya ditahan di kantor polisi setempat selama 25 hari. Mereka selalu memukul dan menendang saya dengan keras selama masa interograsi sehingga saya keguguran. Polisi ingin mengetahui keberadaan suami saya karena mereka ingin menangkapnya, tetapi saya tidak memberi informasi kepada mereka. Suami saya tahu bahwa saya telah keguguran, dia juga sangat sedih, tetapi dia tidak bisa mengunjungi saya di sini. Kalau polisi mengetahui dia datang ke Banda Aceh mereka akan menangkapnya. Saya tidak berjumpa dengan suami saya selama lima bulan. Saya mengetahui dia masih mencintai saya, dia mengirimkan surat. Tetapi saya gugup untuk berjumpa dengan dia lagi.”

Harga dari diam adalah kehilangan bayi keduanya. Mar tidak sanggup lagi mengatakan apa-apa. Dia menangis pelan-pelan: airmata bagi semua perempuan di Aceh yang mengalami nasib yang sama. Di Aceh dan tempat lain di Indonesia, militer bebas melakukan kejahatan kemanusian secara sistematis karena mereka menikmati impunity. 
‘Nilai’ untuk membuat tuntutan resmi sangat tinggi. Korban sering terlalu takut untuk melaporkan kejahatan yang dilakukan terhadap mereka. Ketakutan jika mereka melapor justru akan membuat mereka rentan terhadap serangan balasan. Mereka yang dituduh sering tidak dituntut dan dibawa ke pengadilan, kasus-kasus banyak yang tidak dilaporkan. Kisah serupa di Simpang kramat Aceh Utara tahun 2002, seorang anak, Bunga (bukan nama sebenarnya) menuturkan:

”…Ayah saya membawa saya ke pos militer untuk melaporkan prilaku seorang aparat dari pos tersebut yang telah memegang payudara saya dan mencium saya. Awalnya saya tidak ingin pergi tetapi orang tua saya membujuk agar saya melapor. Tetapi ketika kami tiba di pos tersebut, komandan militer di pos tersebut tertawa dan mengatakan bahwa saya bukan gadis baik-baik, bahkan dia mengatakan pada ayah bahwa saya harus di hukum karena mencoba merusak nama baik anak buahnya. Dua hari kemudian, tentara yang melakukan pelecehan tersebut, datang ke rumah kami dengan tiga orang temannya. Mereka mencuri uang dan mengambil emas ibu saya. Mereka juga menuduh adik laki-laki saya membantu GAM, adik saya terpaksa tinggal dengan saudara saya di Lhokseumawe setelahnya –dia takut militer akan kembali untuk membunuh dia. Sekarang saya merasa malu karena telah membawa begitu banyak masalah dalam keluarga.”

Masih di Aceh utara, awal 2002, sebuah kecenderungan lain, kekerasan terhadap perempuan kembali menyebar di Aceh: perempuan-perempuan Aceh dipaksa oleh militer untuk telanjang di depan umum. Seperti penuturan Halimah;

”…Mereka mendatangi rumah saya untuk mencari anak laki-laki saya, mereka menuduh dia anggota GAM. Dia tidak berada di rumah saat itu, dan dia bukan anggota GAM. Mereka memaksa saya, suami saya dan anak laki-laki saya yang paling kecil yang masih berusia 6 tahun, untuk keluar rumah. Karena saya tidak dapat memberitahukan dimana anak laki-laki saya yang lebih tua berada, salah seorang anggota militer itu menempelkan pisau di leher anak laki-laki saya yang kecil yang menangis. Tentara memerintahkan saya membuka semua pakaian saya atau dia akan membunuh anak saya. Tentara yang lain membakar rumah saya, suami saya tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka memaksa saya menanggalkan semua baju saya dan kemudian dilemparkan ke dalam kobaran api rumah saya yang terbakar. Apa yang bisa saya lakukan? Sekarang anak saya dan suami saya trauma; anak laki-laki saya yang lebih tua masih hilang juga. Apa lagi gunanya hidup? Kami sangat takut mereka akan kembali untuk membuat kehidupan kami lebih sengsara.”

Mungkin, di Aceh, terutama di daerah konflik, sepertinya ada kondisi pseudo-neurotik yang menyebabkan mereka terpasung dan tertekan secara psikologis. Mereka  masih merasa tak memiliki siapa pun dan apapun yang bisa mengangkat keresahan, harga diri, kepercayaan diri, dan keinginannya. Horacio Verbitsky, seorang jurnalis Argentina mengatakan, “Orang selalu bertanya, mengapa membuka luka lama yang sudah sembuh? karena luka yang ditutup sembarangan akan memburuk. Infeksinya akan membahayakan. Jika tidak disembuhkan, luka lama itu akan menganga dengan sendirinya” (Priscillia B. Hayner, Unspeakable Truth).

Maka wajar, sebelum kita melangkah lebih jauh dalam proses reintegrasi. Kita pahami dulu masyarakatnya secara menyeluruh  yang akan diintegrasikan. Teuku Kemal Fasya dalam sebuah kesempatan menulis; bahwa kritik terhadap masyarakat yang tak berdaya harus melihat kembali seluruh peta kegagapan linguistik –mengambil istilah Habermas yang berasal dari Freud: linguisticalization of unconsciousness– sejarah perkembangan kognitif masyarakat itu, memilah dan memilih strategi penguatan komunikasi manakah yang akan didahulukan.

Reintegrasi

Pemerintah juga tidak bisa menyangkal kenyataan konflik bersenjata di Aceh membuat perempuan menjadi janda karena suami tewas dalam peperangan. Beberapa desa di Aceh disebut ”kampung janda.” Namun, apa yang dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk memberikan dukungan kepada para perempuan malang itu untuk melanjutkan hidup di masa damai? Secara prinsip program reintegrasi memastikan para eks kombatan, perempuan dan laki-laki, mendapatkan kembali status sebagai masyarakat sipil, termasuk akses sosial, politik, dan ekonomi setara dengan anggota masyarakat lainnya.

Untuk memastikan Inong Bale menikmati proses itu, sebagaimana eks kombatan laki-laki, beberapa hal harus dikritisi. Di masa damai, perempuan eks kombatan sering diabaikan oleh kelompoknya, karena perannya tidak dibutuhkan lagi. Mereka juga menghadapi kebijakan dan perilaku diskriminasi berbasis gender dari pemerintah ataupun kelompoknya. Jadi, perlu dikritisi bersama, apakah Inong Bale mempunyai akses informasi dan kontrol yang sama dengan kombatan laki-laki terhadap setiap program reintegrasi? Apakah mekanisme yang dikembangkan pemerintah terkait reintegrasi telah memperhatikan kebutuhan spesifik dan kepentingan Inong Bale? Pada masa reintegrasi semua eks kombatan perempuan dan laki-laki seharusnya mendapatkan akses yang sama terhadap hak-hak sipil, hak atas tanah, akses terhadap kredit, akses terhadap pendidikan dan lapangan pekerjaan, serta persiapan untuk menghadapi kesulitan-kesulitan terkait penerimaan masyarakat dan kerentanan terhadap kekerasan dalam rumah tangga ketika kembali ke keluarganya. Layanan pemulihan kesehatan untuk perempuan dan laki-laki juga harus dibedakan. Kebutuhan layanan spesifik ini seperti pemulihan kesehatan reproduksi, keluarga berencana, pelayanan untuk kehamilan serta masa melahirkan, dan perawatan setelah kekerasan penyiksaan seksual. Untuk mengembalikan kehidupan ekonomi para Inong Bale, semua pihak dituntut peka terhadap kondisi khusus mereka sebagai perempuan angkatan perang. Kondisi di mana sebagian dari mereka berlatar belakang pendidikan rendah dan kurang keahlian karena selama masa konflik seluruh kemampuan ditujukan untuk berperang.

KOMNAS HAM dalam penyelidikan pasca DOM menemukan bahwa terdapat 3.000 perempuan telah menjadi janda antara tahun 1989-1998. Situasi ini telah memaksa perempuan untuk menerima peran ganda dalam rumah tangga. Bagi kebanyakan perempuan Aceh, ini adalah ‘kehidupan normal’: mereka menerima tanggungjawab tersebut sendirian untuk mengasuh anak, menjaga orang tua, dan saudara yang sakit dan lemah. Tidak ada data yang tersedia di Aceh tentang berapa banyak rumah yang dipimpin oleh perempuan. Dalam keluarga-keluarga yang demikian, merupakan tanggungjawab perempuan untuk menyediakan tempat tinggal, makanan, pendidikan, dan biaya kesehatan bagi keluarga. Survei informal lokal yang dilakukan di Aceh mendapati bahwa jumlah rumah tangga yang bergantung pada perempuan hampir mencapai 50%. Kelompok yang paling rentan ini telah menjadi target yang paling mudah bagi militer, penderitaan mereka berlipat ganda: kebanyakan laki-laki telah tewas, dihilangkan, ditangkap, atau terpaksa pergi ke provinsi lain. Di beberapa desa laki-laki yang tersisa hanya laki-laki yang telah sangat tua dan anak-anak laki-laki kecil. Perempuan bekerja di kebun dan sawah dan menanggung beban yang menyebabkan mereka stress, letih lahir dan batin. Orang yang telah tua tidak sanggup lagi membantu di kebun dan sawah sehingga anak-anak sering harus berhenti sekolah untuk membantu mencari nafkah keluarga. Jumlah anak yang berhenti sekolah di Aceh telah meningkat: ribuan anak-anak Aceh tidak menyelesaikan sekolah menengah. Kebanyakan laki-laki Aceh telah pergi ke Malaysia mencari kerja dan berjanji untuk mengirimkan uang untuk keluarga mereka di kampung. Tetapi hal ini sering tidak berjalan sebagaimana yang di harapkan: banyak yang berada di Malaysia tanpa dilengkapi dokumen yang sah. Pemerintah Malaysia telah melancarkan operasi besar-besar-an mencari mereka yang masuk secara illegal. Kebanyakan orang-orang Aceh ditangkap dan ditahan untuk masa yang lama, dan biasaya mereka dideportasi kembali ke Indonesia, hal ini menambah stress dan tidak menentunya keadaan keluarga sekembalinya ke Aceh.

Proses pengembalian kekuatan ekonomi, baik oleh pemerintah maupun NGO, penting untuk memperhitungkan kondisi khusus tersebut. Selain kompensasi atau dukungan modal, dukungan untuk keterampilan melanjutkan hidup adalah hal yang mendasar. Pada prinsipnya program reintegrasi harus peka terhadap masalah psikologis dan keterbatasan perempuan akibat masa konflik yang mereka lalui. Terkait proses kembalinya para perempuan itu ke masyarakat, perlu disadari bahwa mengangkat senjata dalam masyarakat kita masih dianggap peran maskulin. Peran Inong Bale dapat bertentangan dengan harapan masyarakat mengenai citra perempuan. Akibatnya, masyarakat bisa saja memandang sebalah mata terhadap kepulangan Inong Bale –karena dianggap perempuan keras dan hanya tahu pegang senjata. Pemerintah dan NGO harus memikirkan model-model sosialisasi reintegrasi sosial yang bisa membedah sampai pada persoalan citra gender itu. Demikian juga ketika mereka kembali ke keluarga, sehingga dapat meminimalisasi kerentanan mereka terhadap kekerasan dalam rumah tangga.

Program pemulihan untuk perempuan korban penyiksaan dan kekerasan dari kedua pihak yang berkonflik harus menjadi agenda utama dalam reintegrasi. Pemulihan medis, psikis, ataupun sosial perlu memberikan perhatian khusus pada perempuan korban penyiksaan dan kekerasan seksual. Mereka sering ditolak atau didiskriminasikan oleh keluarga dan komunitas karena dianggap tidak suci lagi. Perilaku masyarakat yang meminggirkan korban penyiksaan dan kekerasan seksual membuat korban kesulitan dan tidak merasa aman untuk mengungkapkan pengalaman pahitnya. Kondisi tersebut kemudian menjauhkan perempuan korban terhadap akses pemulihan. Korban harus terlindungi kerahasiaannya dan mendapatkan pelayanan yang memenuhi standar medis dan psikologis. Selain itu, korban harus terbebas dari perilaku aparat pemberi layanan yang memungkinkan mereka menjadi korban kedua kalinya. Prinsip yang sama perlu diciptakan ketika korban memilih mencari keadilan melalui proses hukum. Dalam hal ini akan teruji seberapa jauh Undang-Undang Perlindungan Saksi diterapkan oleh aparat hukum sebagai bagian integral dalam upaya menolak impunitas di masa reintegrasi Aceh.

Perempuan keluarga kombatan telah membantu logistik dan transportasi dan berjuang bertahan hidup bersama anak-anak mereka di komunitas. Namun, pada masa reintegrasi pemerintah sering kali hanya memperhitungkan eks kombatan dan abai atas kebutuhan keluarganya. Padahal, sebagian dari perempuan itu ditahan sampai berbulan-bulan di pos militer sebagai sandera, menghadapi kondisi tidak aman, serta keterbatasan mobilitas dan layanan publik selama masa konflik. Kondisi tersebut dapat menurunkan derajat hidup mereka. Jika kompensasi untuk pemulihan ekonomi hanya diberikan pada para suami eks kombatan, para perempuan akan menggantungkan good will kepada suami. Jadi, seharusnya ada jalan keluar yang memastikan pemenuhan hak keluarga kombatan, termasuk mekanisme pemulihan ekonomi untuk janda korban konflik.

Perlu diketahui, bahwa korban konflik terutama perempuan Aceh termasuk Inong Balee, masih mengalami ketakutan, kecemasan, dan keterasingan. Perjanjian Damai Pemerintah RI dan GAM (MoU) pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, merupakan momentum mengakhiri kekerasan selamanya dari bumi Iskandar Muda. Satu hal yang menjadi impian orang di Aceh, yaitu tak ada lagi pelecehan dan penghinaan yang menisbikan hakikat kemanusiaan. Ketika bangun pagi, tidak ada lagi berita surat kabar tentang kematian yang tak wajar. Tidak ada lagi ribuan nyawa yang terkubur sia-sia. Tidak ada lagi baku tembak diantara anak-anak yang berangkat ke sekolah. Tidak ada lagi bangkai manusia berceceran di pinggir jalan, dan pemerkosaan secara bergilir.

Perjanjian dan kesepakatan akan terselamatkan bila melihat keberadaan manusia sebagai  tujuan. Sudah lama Aceh mengiginkan damai. Untuk mengkoordinasi perencanaan dan pelaksanaan proses reintegrasi, berdasarkan instruksi pemerintah Nomor 15 Tahun 2005, pada Februari 2006 melalui SK Gubernur No.330/213/2006, dibentuklah Badan Reintegrasi Aceh (BRA), yang kemudian berubah nama menjadi Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA). BRA mengemban misi antara lain: mengakomodasi perencanaan dan pelaksanaan antarlembaga pemerintah dan nonpemerintah, baik domestik maupun asing untuk melaksanakan program pemberdayaan ekonomi dalam rangka reintegrasi Aceh sesuai dengan MoU Helsinki. BRA juga melaksanakan program dan kegiatan yang berkaitan dengan reintegrasi Aceh menuju perdamaian yang berkelanjutan di Aceh. Selanjutnya BRA juga mengakomodasi dan memantau pelaksanaan pemberdayaan di kabupaten/kota agar realisasi program sejalan dengan upaya pemenuhan kesepakatan MoU. Kegiatan monitoring dan mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan yang telah disepakati, juga dilakukan BRA. Sedangkan kegiatan mengkompilasi dan mendistribusikan laporan atas realisasi program, dilaksanakan oleh masing-masing lembaga pelaksana kepada institusi terkait.

Dalam tubuh BRA terlihat jelas adanya kepentingan Jakarta dalam unsur pelaksana. Keluarnya wakil GAM dan LSM dari tubuh BRA membenarkan adanya tarik-menarik kepentingan di dalam internal BRA. BRA yang dibentuk oleh pemerintah melalui Keputusan Gubernur karena adanya konsensus dengan GAM dalam bentuk MoU Helsinki, bertujuan untuk memberdayakan mantan kombatan dan korban konflik. Nyatanya, begitu GAM dan LSM menarik diri, terjadi kevakuman kerja di BRA. Sementara itu, sekitar 40 ribu masyarakat korban konflik dan mantan kombatan belum mendapatkan apa-apa. Padahal dana BRA itu tak hanya dari RI saja, melainkan dari lembaga asing yang dikelola untuk membantu korban konflik.

Di sini negara harus memperhatikan diri sebagai bagian yang mungkin berubah dan bukan hanya menjadi agen kepentingan internasional. Legitimasi negara memang mengarahkan pada lahirnya sistem pengetahuan yang permanen dan cenderung stabil mengatur dan mengevaluasi dirinya. Namun dengan sebuah proses untuk membuka diri dan menyediakan partisipasi yang bebas dan menentukan antarseluruh unit sosial dan kekuasaan yang dimilikinya, negara tentu akan tertolong. Lebih sehat dan tidak mudah sakit.

Interaksi publik akan membawa kemenangan bagi pihak yang mampu mendesakkan tuntutan yang spesifik dan kuat secara moral. Kekuatan antarblok merupakan kesempatan kunci pada lahirnya proses demokrasi baru. Beberapa unit sosial di Aceh sedang melakukan proses penguatan ke arah tersedianya landasan budaya dan identitas, difasilitasi oleh mereka sendiri, atau kelompok-kelompok masyarakat di luar Aceh dan LSM. Bersediakah negara, dalam hal ini pemerintah, militer, atau siapa pun yang akan menjadi pemimpin dalam pemilu 2009 nanti, memberi kesempatan lahirnya kekuatan mandiri di Aceh dan mempertahankan damai Aceh terus bersemi?

Kamaruddin Hasan

Peneliti Konflik Aceh, Staf Pengajar

 Universitas Malikussaleh NAD

 


Beranda  |  Kategory: Edisi 15 | | Trackback URI

Leave a Comment

 
INDONESIA | ENGLISH

© Copyleft 2011 by Srinthil.org
Pertanyaan, saran, keberatan, harap disampaikan melalui email: mail@desantara.or.id
Beranda | Tentang Kami | Hubungi Kami | Donasi | Sitemap | RSS
logo Jurnal Srinthil Dikelola oleh: Desantara Foundation
Komplek Depok Lama Alam Permai K3
Depok,Jawa Barat, Indonesia