Rabu, 30 Maret 2016

Kritislah Terhadap Sajian Produk Media Massa

id Massa, Media, produk
Kritislah Terhadap Sajian Produk Media Massa
1920450_540868422677959_102785097_n.
Banda Aceh 19/6 (Antaraaceh) - Tulisan ini utama diperuntukkan bagi dominan rakyat  yang mendiami nusantara dari pelosok Aceh sampai pelosok papua. Rakyat adalah ‘kita-kita’ yang dominan belum begitu memahami tujuan, fungsi, makna, efek dari produk atau tujuan di balik produk media massa yang disajikan oleh berbagai bentuk media massa (konvensional, media baru dan media konvergensi).
Produk media massa tersebut, tentu ada rakyat yang mengkonsumsinya setiap detik, tiap menit, tiap jam, tiap hari atau ada yang hanya seminggu sekali atau sebulan sekali, paling tidak pernah membaca, mendengar atau menonton. Tentu dalam dominan rakyat tersebut terdapat juga ‘kita-kita’. Sekali lagi, kita-kita adalah rakyat yang dominan tersebut.
Karena memang,  media massa memainkan peranan penting bagi perubahan dan dinamika kehidupan rakyat.  Maka  untuk  mendapat  gambaran awal tentang produk  media  massa dapat disampaikan  beberapa poin  penting agar  rakyat  kebanyakan  bisa  bepikir  mengkaji secara  kritis  terhadap  produk  atau sajian berita/informasi dari media massa untuk perubahan dan dinamika kehidupan yang lebih baik.
Pertama, bagaimana memahami netralitas/obyektifitas/independensi  produk media massa. Kedua, bagaimana hubungan media massa dengan ekonomi politik atau kekuasaan dan dimana posisi kita-kita sebagai rakyat, ketiga, berkaitan dengan bagaimana bahasa diproduksi oleh media massa dalam hal ini akan dikemukakan tiga pandangan secara umum yaitu posivisme, konstruktivisme/fenomenologi dan  pandangan kritis).
Pertama, bagaimana memahami netralitas/independensi/obyektifitas produk media massa.  Keseimpulan awal dapat disampaikan bahwa hasil produk media massa  yang ditampilkan masih jauh dari sifat netralitas/independensi/obyektifitasnya. Sungguh rakyat mesti kritis terhadapnya, tidak lansung menerima secara mentah-mentah.
Produk media massa seperti berita/informasi sebagai salah satu produknya merupakan hasil konstruksi media massa. Berita atau informasi merupakan usaha rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi. Berita dalam konteks ini, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi kita sebagai khalayak, pembaca, penonton atau pendengar.
Berita dalam kapasitasnya sebagai pembentuk dan dinamisator pengolahan interpretasi atas peristiwa rakyat, menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembentukan konstruk politik, sosial, budaya, hukum, ekonomi dan sebagainya.
Berita, tahap tertentu, sangat mempengaruhi rakyat dalam menyusun pandangan tentang kehidupan dunia politik, sosial, budaya, hukum dan ekonomi. Pandangan terhadap kehidupan dunia adalah frame/bingkai rakyat sebagai manusia dalam menggambarkan tentang apa dan bagaimana memahami kehidupan dunia. Berbagai pengalaman hidup dimaknai dalam frame atau bingkai tersebut.
Bahwa berita yang dibuat oleh media massa mengambil bahan baku dari pengalaman dan mengemasnya dalam bentuk cerita, ia menceritakan kembali, kita menyebutnya realitas.
Realitas yang ditampilkan tersebut mencerminkan independensi, netralitas dan obyektifitas media dalam konteks politik, sosial, budaya, ekonomi dan hukum.
Awalnya   netralitas/independensi/obyektifitas media bisa dimaknai sebagai sikap untuk tidak mengikutsertakan kecenderungan unsur subyektifitas jurnalis atau pengelola media dalam proses memotret serta mengekspose realitas kehidupan.
Netralitas media  diterjemahkan sebagai sebuah kerja yang bebas kepentingan, netral sepenuhnya, obyektif serta melihat peristiwa secara makro. Sejatinya media massa yang bisa meraih kepercayaan rakyat adalah mereka yang mendedikasikan kerja profesionalismenya pada kepentingan rakyat. Itulah yang disebut independensi/obyektifitas media massa.
Faktor internal dalam organisasi media, kebebasan biasanya dinilai berdasarkan kadar kontrol yang dijalankan oleh para pemilik dan manager terhadap para jurnalisnya, serta kontrol yang kenakan oleh para jurnalis itu sendiri terhadap para bawahannya dalam wadah organisasi yang seringkali bersifat birokratis dan hierarkis.
Kebebasan dan independensi media harus diarahkan agar dapat memberikan  manfaat nyata bagi rakyat sebagai tujuan kehadiran media massa, bukannya sekedar  untuk membebaskan  media dan para pemiliknya dari kewajiban memenuhi harapan dan tuntutan rakyat.
Faktor external media massa menjadi masalah kedua, yaitu pengaruh kekuasaan/politik dan ekonomi.
Media cenderung tidak memanfaatkan kenetralannya  untuk menentang hubungan kekuasaan/politik  yang ada dan mudah rentan untuk berasimilasi dengan pemegang kekuasaan. Media cenderung lebih berfungsi, melindungi atau menonjolkan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi atau politik.
Almarhum Dedy N Hidayat, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia pada 2001  berpendapat, "media massa berfungsi memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperlukan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dengan menempatkan dirinya sebagai wadah independen dimana isu-isu permasalahan umum bisa diperdebatkan". Sekali lagi, posisi media sebagai ruang dialog membutuhkan landasan filosofis independen dan landasan praktis netralitas yang perlu dijaganya.
Tanpa kemauan baik pengelola media untuk menjaga martabatnya seraya memenuhi kepentingan bisnis saja, bisa diprediksi kualitas demokrasi  akan berjalan secara absurd, disamping fungsi media untuk melakukan edukasi sekadar "pemanis bibir" dari pembicaraan publik tentang media.
Keterikatan media massa pada dimensi ekonomi dan politik menjadikan produk media massa menjadi ajang yang rentan terhadap pengaruh keduanya. Sebagai entitas yang dikonstruksi media, apa yang disebut sebagai ‘berita’ acapkali merepresentasikan kepentingan ekonomi sekaligus politik tertentu.
Menemukan relasi antara dimensi ekonomi dan politik dalam kerja media massa, berangkat dari apa yang rakyat konsumsi sehari-hari-hari melalui media; berita, iklan, film, atau berbagai tayangan hiburan.
Sehingga dalam kajian mengenai ekonomi politik produk mmedia massa, penekanan terhadap bahasa menjadi penting. Bahasa menempati posisi terpenting dalam proses produksi dan distribusi produk media seperti berita atau informasi.
Ketiga, produk media massa notabene merupakan sekumpulan bahasa yang terangkai menjadi satuan-satuan struktural yang dapat dimaknai dan dipertautkan dengan realitas. Walau demikian, bahasa itu sendiri pada dasarnya realitas tersendiri.
Bahasa mesti dipahami bukan saja mampu memanipulasi  realitas sedemikian rupa sehingga realitas tidak selalu sama persis dengan realitas yang sesungguhnya, melainkan juga mampu menciptakan citra yang berlebihan terhadap realitas yang sesungguhnya.
Bahasa mampu mengkonstruksi realitas, bahasa mampu mereproduksi realitas yang disampaikan pada rakyat melalui media massa. Bahasa memproduksi wacana, ketika informasi/berita direproduksi melalui praktik berbahasa tertentu untuk menghubungkan antara realitas yang diinformasikan dengan rakyat media massa.
Bukan saja karena penampilan realitas yang boleh jadi berbeda akibat dari pemakaian bahasa, melainkan juga karena pengguna bahasa oleh media massa tidak jarang menjadi subyek yang patut dipertanyakan posisinya atas informasi yang direproduksi.
Produk media massa bukan saja menampilkan citra realitas, melainkan sesungguhnya citra media itu sendiri. Oleh karenanya, perlu pemahaman mendalam tentang wacana bahasa menjadi tolok ukur untuk menguji bagimana bahasa digunakan di dalam membentuk konstruksi politik, sosial, budaya, ekonomi dan hukum. Informasi/berita yang tersaji dalam bentuk berita misalnya, pada tingkat tertentu dapat mempengaruhi sudut pandang manusia tentang dunia di sekitarnya. Sementara, jika dipahami secara mendetail, berita/informasi sendiri pada dasarnya merupakan serangkaian interpretasi yang telah terolah berdasar fakta atau peristiwa. Sehingga untuk mengatakan bahwa berita/informasi adalah sebuah entitas obyektif tentu masih perlu perdebatan.
Namun, untuk mengatakan bahwa sebuah berita/informasi disebut sebagai realitas subyektif rill tentu juga tidak beralasan karena untuk menuangkan suatu peristiwa menjadi teks berita/informasi tentu membutuhkan persyaratan yang disepakati bersama dan dapat dipertanggungjawabkan.
Minimal terdapat tiga pandangan tentang bahasa dalam produk media massa, pertama berasal dari kaum posistivisme empiris yang menyakini bahwa bahasa merupakan jembatan antara manusia dengan obyek.
Bahasa dianggap sebagai sebuah realitas obyektif yang merefleksikan realitas begitu saja, oleh karenanya sisi subyektif pengguna bahasa diekslusikan sedemikian rupa.
Distorsi realitas tentu saja tidak mendapat tempat untuk diperhitungkan dalam pemahaman ini, karena bahasa dianggap telah merefleksikan begitu saja realitas.
Dalam kaitannya dengan berita/informasi atau produk media, paradigma posistivisme-empiris meyakini bahwa apa yang dilakukan media seolah sekadar memindah realitas pertama sebagai realitas sosial, politik, budaya, ekonomi atau hukum ke realitas kedua yaitu realitas media massa tanpa tendensi untuk melakukan distorsi.
Pandangan kedua, sering disebut dengan paradigma konstruktivisme atau fenomenologi. Produk media massa tidak layak lagi disebut sebagai refleksi realitas rill, melainkan media sekadar ‘representasi’ apa yang berlangsung dalam masyarakat, sehingga klaim-klaim obyektif untuk memahami bahasa hasil produk media massa  tidak layak lagi diterapkan.
Pikiran manusia membawa konstruksi nilai tertentu yang kemudian dalam mewujud sebagai produk media massa. Dalam perspektif konstruktivisme, produk media adalah man made; sehingga subyektivitas manusia pembuatnya adalah hal yang wajar terjadi sehingga untuk disebut sebagai realitas obyektif adalah tidak mungkin.
Menurut pandangan Eriyanto 2001, pandangan konstruktivisme ini berasal dari tradisi fenomenologi yang menolak pemisahan antara subyek dan obyek bahasa. Subyek atau pengguna bahasalah yang menjadi faktor sentral dalam kegiatan wacana dalam media massa, karena subyeklah yang mula-mula memilih dan menggunakan bahasa untuk menyampaikan maksud tertentu.
Pandangan posistivisme empirik dan paradigma konstruktivis berimplikasi pada sejauh mana tingkat pemaknaan yang dapat dihasilkan praktik berbahasa media massa. Sebuah informasi akan berbeda makna ketika perspektif berbeda dan sesungguhnya inilah yang menjadi salah satu basis perbedaan pemahaman di antara kedua paradigma tersebut.
Perspektif konstruktivis  memperhatikan peran penguasaan makna dari yang semula condong pada komunikator (media), kini beralih pada komunikan atau receiver khalayak/rakyat. Peran yang aktif dari khlayak/rakyat pembacalah yang kini menentukan makna, sehingga produk media tidak layak lagi menduduki peran sebagai pesan/message, melainkan justru sebagai ‘teks’ yang maknanya akan sangat tergantung kepada kemampuan khalayak/rakyat untuk menafsirkan.
Dalam bahasa Fiske 1990, komunikasi adalah produksi dan pertukaran makna. Seiring dengan pengertian itu, sebuah produk media lantas tidak layak lagi untuk disebut sebagai refleksi, melainkan representasi.
Konsep mengenai representasi itu sendiri hadir menempati tempat baru dalam studi komunikasi dan kebudayaan budaya. Berkaitan dengan komunikasi, secara khusus Alan O’Connor, 1990 bahkan menggambarkan budaya sebagai proses komunikasi dan pemahaman yang aktif dan terus-menerus.
Dari gambaran ini kita dapat mengambil satu pengertian bahwa pemaknaan terhadap teks-teks kebudayaan (termasuk produk media) tergantung pada pemahaman subyektif di antara aktor atau subyek di dalam lingkungan kebudayaannya.
Meyakini realitas media sebagai hasil konstruksi sama halnya dengan memandang suatu fenomena yang diibaratkan seperti gunung es.
Permukaan yang terlihat seringkali hanya sebagian kecil dari kenyataan sesungguhnya, dan sebaliknya apa yang ada di bawah permukaan itu justru lebih besar.
Pada gilirannya peran pemaknaan oleh rakyat menjadi hal penting karena rakyat yang mempunyai otoritas untuk melihat bagimana bagian yang tidak tampak dari gunung es itu dapat diketemukan.
Dalam bahasa konstruktivis, peran khalayak untuk mengidentifikasi bagian-bagian yang seringkali tidak terlihat itu disebut sebagai ‘memaknai’. Pada saat rakyat sebagai khalayak mempunyai otoritas penuh untuk memaknai sebuah berita/informasi, maka peran bahasa menjadi penting. Bahasa menjadi medium istimewa, yang mampu memproduksi makna.
Ketiga muncul pandangan kritis, Eriyanto, 2001 menyebutkan paradigma ini muncul sebagai sebentuk koreksi terhadap paradigma konstruktivisme yang dianggap kurang sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional.
Dalam studi media, meski masih dalam kerangka kerja analisis wacana, paradigma kritis mencoba menggapai sejumlah kemungkinan lain yang mempengaruhi proses produksi dan reproduksi makna.
Paradigma ini percaya bahwa produksi dan reproduksi makna dipengaruhi pula oleh konstelasi kekuatan yang ada di balik teks. Maka bahasa tidak mungkin menjadi medium yang netral dalam merepresentasikan realitas, bahasa sesungguhnya terlibat dalam hubungan kekuasaan.
Pada saat seluruh realitas sosial, budaya termasuk ekonomi dan politik berperan membentuk jalinan makna teks dalam media, maka secara terang-terangan sisi ekonomi dan politik media sangat tampak di balik produk media.  Tidak hanya produk media, media pun sebagai sebuah lembaga ekonomi tidaklah hadir dalam ruang kosong. Media acapkali menjadi ajang pertarungan bagi kepentingan ekonomi dan politik tertentu.
Berangkat dari bahasa, analisis mutakhir ini memampukan dirinya untuk memahami bagaimana realitas dibingkai alias direproduksi dan didistribusikan ke khalayak/rakyat. Produk media adalah sebentuk konstruksi sosial yang melaluinya khalayak merumuskan pandangannya tentang dunia.
Analisis ini memampukan khalayak/rakyat melakukan rekonstruksi, bukan hanya peristiwa atau informasi yang disajikan oleh produk media, melainkan juga aspek politis bahasa. Khalayak/rakyat beranjak dari perspektif mikro menuju makro, dari wilayah struktur bahasa ke struktur kognitif pelaku representasi (media). Model analisis kritis yang memperkaya pandangan khalayak bahwa ada keterkaitan antara produk media, ekonomi dan politik.
Dosen dan Ketua laboratorium Ilmu Komunikasi, Fisip, Unimal Aceh
Ketua Development for Research and Empowerment (DeRE) Indonesia
Email: kamaruddinkuya76@gmail.com

Editor: Salahuddin Wahid

COPYRIGHT © ANTARA 2014

Baca Juga